Kamis, 06 Desember 2012

SEJARAH AL IDRISIYYAH



  SEJARAH AL IDRISIYYAH


Sejarah Al-idrisiyyah
Sejarah Thariqat Al-Idrisiyyah
A. Sejarah Thariqat Al-Idrisiyyah


Thariqat Al-Idrisiyyah adalah sebuah Thariqat yang muncul dan berpusat di Propinsi Asir, Arab Saudi pada akhir dasawarsa kedua abad ke 19 M. didirikan oleh Syarif Ahmad bin Idris 'Ali Al-Mashishi Al-Yamlakhi Al-Hasmi. Idris, yang kepadanya dinisbatkan nama Thariqat ini adalah nama ayah dari pendirinya.[1]





Thariqat ini juga dinamakan Thariqat Muhammadiyah yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw atau Thariqat Ahmadiyah, dinisbatkan kepada Ahmad, nama lain dari Nabi Muhammad Saw, bukan kepada Ahmad bin Idris.
Penamaan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah untuk menunjukkan bahwa Thariqat ini ingin menjalankan kehidupan spiritual sebagaimana yang dijalankan Nabi Saw, atau mencapai pengalaman dengan ruh Nabi melalui dzikir.


Ahmad bin Idris lahir di Maisni, dekat kota Fez, Marokko (maghribi) tahun 1760 (1173 H) dan wafat di Sabya, yang terletak dalam wilayah Propinsi Asir (Saudi Arabia) pada 1837 (1253 H). Ia adalah keluarga Syarif Al-Hasan yang turunannya berasal dari Idris bin Abdullah bin Al-Hasan bin Al-Hasan bin 'Ali bin Thalib, cicit Nabi, yang mendirikan dinasty Idrisiyyah di Maroko dan berkuasa antara tahun 783 - 985 M (172 375 H).[2] Ia juga turunan Yamlah bin Mashish dan Mashish bin Abu Bakar, Keduanya wali wali yang termasyur dari Maroko.


Setelah mempelajari Al-Quran, Hadits, ilmu Tafsir, Aqidah dan Fikh (Malikiyah), pada masa mudanya, ia mulai mempelajari tasawuf sampai mendapat ijazah untuk mengajar ilmunya dari seorang sufi pimpinan Thariqat Khidriyah, yakni Sayid Abu Al-Mawahib Abdul Wahhab At-Tazi. Gurunya yang lain dalam bidang tasawuf adalah Abdul Qosim Al-Wazir (Thariqat Sadziliyah), Hasan Al-Qina’i (Thariqat Khalwatiyah).[3]


Pada tahun 1799 (1213 H) ia menunaikan ibadah haji kemudian menetap di Kairo untuk memperdalam ilmu agamanya. Sejak itu ia tak pernah kembali lagi ke negeri asalnya (Maroko). Selanjutnya ia berdomisili di desa Zainjid, kawasan Qina, Mesir. Pada tahun 1818 (1233 H) ia kembali lagi ke Mekkah dan bermukim di sana dalam waktu yang lama.[4]


Di sini nampaknya ia mendalami dan mengajarkan bemacam Thariqat lainnya. Sebab ketika nanti Muhammad bin Ali As-Sanusi belajar kepadanya (Ahmad bin Idris) mengajarinya selain Thariqat Khidiriyah juga Thariqat lain seperti Nasiriyah, Naqsyabandiyah, Uwaysiyah, Suhrawardiyah, Shadziliyah, Hatimiyazamqiyah dan Qodariyah, sehingga As-Sanusi menganggapnya "Qutb".[5]


Yusuf bin Ismail Al-Nabhani pengarang kitab Jami' Karamat Al-Auliya, menggambarkan Ahmad bin Idris sebagai orang yang berhasil menghimpun dan menguasai ilmu zahir (syari'ah) dan ilmu batin (tasawuf); memiliki kemasyhuran dalam ilmu Al-Quran dan Hadits, suatu ilmu yang diperoleh melalui Kasyf. Dengan bahan keruhanian, kecerdasan dan kepribadiannya yang menonjol ia berhasil menarik banyak pengikut di Mekkah, sehingga berdirilah Thariqat Al-Idrisiyyah.[6]


Dari murid muridnya cukup banyak menjadi ulama yang terkenal, baik dalam bidang ilmu lahir (fiqih) maupun ilmu batin (tasawuf), antara lain:


* Abdur Rahman bin Sulaiman Al-Ahdal;
* Muhammad Abid As-Sinsi, Syekh di Madinah;
* Muhammad Al-Majzub As-Sawabin, ulama terkemuka di Sudan;
* Muhammad Al-Madani (ulama terkemuka di Madinah).


Pendiri Thariqat


* Muhammad bin Ali As-Sanusi, pendiri Thariqat Sanusiyah;
* Muhammad Utsman Al-Mirghani, pendiri Thariqat, Mirghaniyah;
* Ibrahim Ar Rasyid, pendiri Thariqat Rasyidiyah.[7]


Ibn Idris adalah seorang guru, juru dakwah yang produktif menuliskan pemikirannya. Karya aslinya meliputi bidang Tafsir (9 buah), bidang Hadis (5 buah) dan bidang Tasawuf (9 buah). Selain ltu, terdapat juga kumpulan hizb, wirid, catatan kuliah, khutbah khutbah, surat surat dan biografi beliau. yang dituliskan oleh para muridnya. Karya asli Ibn Idris dalam bidang Tasawuf antara lain:


1. Kimiya Al-Yaqin fi Mushawwaq Al-Muttaqin;
2. Kunuz Al-Jawahir An Nuraniyya fi Qawa'id At-Tariqa As-Sadziliyya;
3. Lawami' Al-Buruq An Nuraniyya min Katimat Syaikh At-Tariqa Al-Muhammadiyyah;
4. Nubdha fi Sifat Dukhul Al-Khalwat;
5. Risalat Al-Asas;
6. Risalat fi Az Dzikr;
7. Sharh Husul Al-Haqiqa bi Nazm Usul At-Tariqa;
8. Sharh Qasidat Al-lmam Al-Junaid;
9. At-Tasawuf As-Suluk[8]


Kunuz Al-Jawahir berisi tuntutan praktis dalam menguasai cara cara latihan spiritual (riyadhah) yang terdiri dari 6 bagian:[9]


1. Menjelaskan silsilah keguruan Al-Idrisiyyah;
2. Tata cara talqin (inisiasi) calon murid laki laki dan perempuan;
3. Tujuh tingkatan jiwa manusia, dan hubungan antara murid, mursyid dan Nabi. Tujuh jiwa manusia itu. antara lain adalah:


a. Nafs al ammarah;
b. Nafs al lawwamah;
c. Nafs al mulhamah;
d. Nafs al mutmainnah;
e. Nafs ar radiah;
f. Nafs al mardhiah;
g. Nafs al kamilah;


4. Petunjuk petunjuk lengkap untuk melakukan dzikir berjama'ah;
5. Tata cara bergaul dengan sesama ikhwan;
6. Bagian terakhir menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad Saw menemuinya bersama Nabi Khidir As dan mengajarinya berbagai do’a yang menjadi keistimewaan Thariqat Al-Idrisiyyah. Ia berkata:
Saya berjumpa secara ruhani dengan Nabi Saw besama Khidir yang menemuinya. Nabi menyuruh Khidir agar mengajariku dzikir Thariqat Syaziliyah, maka Khidir mengajarkannya kepadaku di hadapan Nabi Saw. Setelah itu Nabi Saw menyuruh Khidir supaya, mengajariku apa yang mencakup semua dzikir lainnya, shalawat dan istighfar, yang paling mulia dan paling banyak pahalanya. Oleh karena Khidir menanyakan apa yang mesti diajarkannya, maka Nabi Saw sendiri yang langsung mengajarkannya kepadaku.[10] Diantara yang utama adalah kalimat 'fi kulli lamhatin wa nafsin ’adada ma wasi’ahu ilmu llah". Setelah lafazh "la ilaha illallah Muhammadur Rasullullah". dalam setiap dzikir.[11]


Setelah mengadakan penelitian yang mendalam terhadap pemikiran pemikiran Ahmad bin Idris, Rex. S. O Fahey, dari Northwestern Univesity, London menyimpulkan pokok pokok pikiran tasawuf Ahmad bin Idris didasarkan pada pemikiran para sufi sebelum yang dianggap ortodoks yaitu:


* Hasan Al-Basri (w. 728);
* Abul Qosim Al-Qusyairi (w. 1073);
* Abul Hasan As-Sadziliy (w. 1258);
* Ibn Athaillah Al-Iskandari (w. 1309).[12]


B. Thariqat Al-Idrisiyyah sebagai Neo Surisme


Berdasarkan latar belakang pendidikan dan kemampuan intelektualnya, Ahmad bin Idris bukan sekedar seorang sufi dengan segala kemampuan mistis dan spiritulanya ' melainkan juga seorang ahli ilmu lahir (Eksoterisme) yang menguasai ilmu ilmu Al-Quran, Tafsir, Hadits, Aqidah dan Fiqih. Sebagai seorang ahli fikih dari berbagai mazhab ia memiliki semangat pembaharuan (Tajdid) dan pemurnian (Islah) dan menyerukan ijtihad. Dia menolak Ijma' zaman pertengahan dan penalaran dengan analogi (qiyas). Dalam hal ini ia mengambil pendapat Hambali. Semangat pembaharuannya juga ditujukan ke arah Islah terhadap Thariqat. Ia berupaya menyelaraskan kehidupan spiritual umat agar semata berdasarkan tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw., menolak ide penyatuan mistis manusia dengan Tuhan (mystiscal union with the divine), dan menggantinya dengan penyatuan dengan ruh Nabi SAW. (mystiscal union with Prophet), menolak zuhud yang berlebihan dan uzlah, lantaran yang terakhir ini lebih menghasilkan efek individual ketimbang sosial.[13]


Ide pembaharuannya atas tradisi mistis dari Thariqat yang berkembang sejak abad pertengahan ini merupakan suatu revolosi spiritual dalam sejarah Islam. Apabila pemikiran pembaharu dalam Islam umumnya cenderung memberantas Thariqat/tasawuf, maka Ahmad bin Idris justru memperbaikinya dari dalam. Apa yang dilakukan oleh Ahmad bin Idris pada penghujung abad 18 sampai awal abad 19 inilah yang menempatkannya sebagai tokoh kunci dalam gerakan yang lalu oleh FazIur Rahman dikenalkan dengan istilah Neo Sufisme.[14]


Istilah neo sufisme memang masih diperdebatkan, namun pada prinsipnya disepakati. la mengacu pada suatu "kebangkitan kembali dari thariqat” (sufi revival) yang mengalami masa pasang surutnya besamaan dengan masa "pambaharuan dalam Islam' sebelum periode modern, atau sejak sekitar abad 8 H/14 M, yang dalam hal ini pemikiran pemikiran Ibnu Taimiyah sangat berpengaruh.[15]


'Neo Sufisme' atau 'Sufisme Baru' atau 'Tasawuf Modern' (istilah Hamka) adalah semacam spiritualitas yang merupakan kelanjutan dari ajaran Islam itu sendiri sebagaimana tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah serta tetap dalam pengawasan kedua sumber utama ajaran Islam itu, ditambah dengan ketentuan untuk menjaga keperdulian dan keterlibatan sosial pengikutnya. Jadi ia merupakan jembatan yang menghubungkan antara tuntutan untuk memenuhi kerinduan primordial manusia dan kelanggengan damba mistiknya di satu pihak, dan di pihak lainnya sekaligus untuk memenuhi tuntutan mengaktualkan keberagamannya dalam bentuk aktivisme sosial agar agama 'membumi' atau dengan kata lain, untuk menyeimbangkan porsi perwujudan ajaran penghambaan (ibadah) dan kekhalifahan (khalifah) manusia di atas bumi ini. Tak heran, bila berkenaan dengan prinsip keseimbangan Neo Sufisme ini Nurcholish Madjid mengaitkannya dengan Firman Allah dalam surat Ar Rahman[55]: 7 8 di mana Allah telah menetapkan mizan, tawazun sebagai hukum (taqdir) yang menguasai seluruh alam ini. Menurutriya pelanggaran prinsip ekuilibrium (mizan, tawazun) adalah suatu dosa kosmis, karena melanggar hukum yang menguasai alam jagat raya. Dan kalau manusia diakui sebagai 'mikrokosmos' maka, tanpa terkecuali, ia pun harus memelihara prinsip ekulibrium dalam dirinya sendiri, termasuk dalam kehidupan spiritualnya.[16]


Salah satu tentang batasan Neo Sufisme disampaikan oleh Carlo Nallino. Menurutnya, neo sufisme adalah suatu jenis Thariqat yang muncul antara abad 18 19-an yang mengambil alih ajaran ajaran universal Tasawuf dan melucuti konsep konsep tradisional yang telah menjadi watak Thariqat sejak abad pertengahan.[17]


Dari definisi di atas dan dan keterangan keterangan sebelumnya jelas ada yang dipertahankan oleh Neo Sufisme dari Tasawuf Klasik dan ada pula yang diganti, sehingga, selain merupakan kritik, Neo Sufisme merupakan kesinambungan dari spiritualisme Islam pendahulunya, atau dapat juga kita katakan, ‘direkonstruksi’.


Menurut Hassan Hanafi, rekonstruksi tasawuf itu meliputi ketiga aspeknya, yaitu moral, etika psikologis dan metafisik.[18]


Nilai universal tasawuf klasik yang diambil alih antara lain moralitas yang luhur, kontrol diri yang penuh disiplin dan sistem kekerabatan (ikhwan) yang hangat dan tulus, juga teknik dzikir, atau muraqabah, konsentrasi spiritual. Sedangkan yang dibuang, ajaran uzlah diganti dengan aktifisme, kesalehan individual diganti dengan spiritulisme sosial, konsep konsep persatuan mistis dengan Tuhan seperti wahdatul wujud, ittihad dan hulul diganti dengan penyatuan mistis dengan ruh Nabi Muhammad Saw.[19]


Ahmad bin Idris hidup pada tahun 1760 – 1837 M/1 173 – 1253 H. Pada abad itu ciri utama jaringan ulama masa itu adalah tercapainya puncak saling pendekatan (reapproachement) antara para ahli syari'ah (fuqaha) dan ahli haqiqah.[20]


Konflik yang telah berlangsung lama antara para ulama zawahir (eksoterisme yang lebih menekankan aspek transendensi (tanazzuhyat) Tuhan, dan ulama tasawuf (esoterisme) yang lebih merasakan immanensi (tanazzulyat) Nya sudah jauh berkurang. Sikap saling pendekatan inilah yang menimbulkan kebangkitan kembali revivalisasi Tasawuf dalam bentuk baru, yang lebih menekankan makna dan fungsi syari'ah dalam kehidupan spiritual.


Sebagai ulama Tasawuf yang terpandang, juga dikenal sebagai ahli ilmu zawahir (eksoterisme) Ahmad bin Idris teguh menjaga keseimbangan aspek lahir dan batin dalam Thariqatnya. Acuannya bertumpu pada orientasi Al Quran dan Sunnah Rasul. Thariqat Al-Idrisiyyah tidak terlalu mementingkan aspek batin sebagaimana Thariqat Thariqat klasik. Akan tetapi juga tidak hanya memperhatikan aspek lahir sampai menelang aspek batin seperti kelompok Wahabiyah.[21]


Sikap dan pendapatnya itu tergambar dari rekaman debat, terbuka (munazarah/publik debate) antara Ahmad bin Idris dan ulama Wahabi serta para fuqaha dari propinsi Asir sebagai berikut:


Pendapat pendapat kami mengenai firman Tuhan sesungguhnya sudah diketahui. Kami menafsirkan nash nash (nushush) berdasarkan makna lahirnya dalam bahasa Arab. Kami berpendapat bahwa perlu secara mutlak untuk memperhatikan makna lahir tersebut. Seseorang tak mungkin sampai kepada makna batin (esoterik) sebalum ia memahami makna eksoteriknya. Barang siapa yang mengaku mengerti makna makna rahasia Al-Quran tanpa penafsiran eksoteriknya adalah bagai orang yang mengaku telah sampai ke ruang tengah rumah tanpa melewati pintu masuknya. Kami bersyukur kapada Tuhan, lantaran bisa masuk golongan yang menguasai penafsiran lahir (eksoterik). Tapi sebaliknya kami tidak menyalahkan orang yang berpendapat bahwa kandungan hakiki dari ayat ayat Al-Quran adalah yang tersembunyi, yang rahasianya diilhamkan kepada pengikut-pengikut Thariqat dengan cara memperdalam pemahaman atas makna eksoterik ayat ayat tadi. Untuk mencapai makna hakiki tersebut diperlukan pengetahuan yang sempurna dan keimanan yang tulus.[22]
C. Thariqat Al-Idrisiyyah dan Sanusiah


Setelah Syarif Ahmad bin Idris wafat, semangat pembaharuan dan kebangkitan kembali tasawuf di warisi oleh para muridnya. Di antara mereka ada tiga orang yang berasal dari latar belakang pendidikan dan sosial keagamaan berlainan, karenanya memiliki kepribadian berbeda satu sama lainnya, namun menjadi sangat terkenal sebagai pewaris Thariqat Al-Idrisiyyah. Mereka adalah:[23]


Pertama, Ibrahim Ar-Rasyid (1831 1874/1228 1291) berasal dari Sudan. Ia termasuk yang termuda jika dibandingkan dengan Al-Mirghani dan As-Sanusi. Sejak kecil sudah tergabung menjadi murid Al-Idrisiyyah dan mempelajari Tasawuf hanya dari Ahmad bin Idris. Setelah tahun 1873 Ahmad bin Idris wafat, Sanusi pergi ke Mekkah, Ibrahim Ar-Rasyid yang ketika itu berusia 24 tahun diangkat sebagai khalifah Al-Idrisiyyah untuk daerah Sabya, sedangkan secara umum dia sendiri mengakui kepemimpinan Sanusi di Qubais. Kemudian mendirikan Thariqat Rasyidiyah dengan membuka zawiyah zawiyahnya di Luxor (Mesir), Dongola (Sudan) dan Libya. Langkahnya diteruskan oleh muridnya, Muhammad Al-Farisi dan Musa Agha Qosim yang menyebarkan Thariqat Al-Idrisiyyah di Cairo dan Iskandariyah. Karya karya tulisnya tidaklah banyak, namun sangat penting dalam menginformasikan warisan tradisi Al-ldrisiyah, yaitu:


* Risalat lantsiq Al-Ara li man arada huda khayr al wara' fi ta’alim at thariq Al-Ahmadi Al-Idrisi;
* Iqd ad duraran Nafis fi bad Karamah As-Sayyid Ahmad ibn Idris;
* Nubha min ba 'd Karamah Muhammad Al-Majzub.


Kedua, Muhammad 'Usman Al-Mirghani (1793 1852 M/1208 1268 H) barasal dari Mekkah yang mendirikan Thariqat Mirghaniyah yang berdiri sendiri. Selain bersumberkan warisan Al-Idrisiyyah, Thariqat ini juga memadukan ajaran ajarannya dengan unsur unsur dari Thariqat Thariqat Naqsyabandiyah, Qodiriyah, Sadziliyah, Junaidiyah, dan Thariqat dari kakeknya (Mirghaniyah juga), sehingga menurut Al-Mirghani, pargi muridnya dapat sekaligus memiliki rantai rantai dengan silsilah Thariqat tersebut.


Disamping beberapa zawiyah, Al-Marghani membangun sekolah khusus wanita yang pertama di Sudan. Dan sebelum wafat di Thaif tahun 1851 (1268 H), ia sudah mengirimkan putra putranya ke Arabia Selatan, Mesir, Sudan dan India. Dia juga mewariskan sejumlah karangan, yang penting adalah dua jilid kitab, Taj At-Tafasir li Kalam Al-Malik Al-Kabir. Kitab ini berisi panafsiran penafsiran ayat secara ringkas dan jelas, disertai dalil dalil hadits dan khalis dan kisah kisah Israiliyyat. Karangan lainnya berupa risalah Maulid yang berisi wirid wirid untuk mencapai pertemuan dengan ruh Nabi Saw.[24]


Ketiga, Muhammad bin 'Ali As-Sanusi Al-Khattabi Al-Hasani Al-Idrisi (1787¬-1859 M/1202 1275 H). la lebih dikenal dengan nama, Sanusi Al-Kabir atau Grand Sanusi. Dia adalah pemimpin Islam yang paling berpengaruh di Afrika Utara pada abad 19. Kegiatan kegiatan organisasinya yang dikembangkan telah banyak mengubah suku¬-suku nomade dari Gurun Sahara dan padang pasir menuju masyarakat suatu negara yang sekarang disebut Libya.[25] Sebagai pewaris semangat pembaruan dan penghidupan kembali Thariqat dari Ibrahim bin Idris, jika dibandingkan dengan lbrahim Ar Rasyid dan Muhammad 'Utsman Al-Mirghani, bahkan juga dibandingkan dengan tokoh tokoh sufi lainnya, Sanusi Al-Kabir dan Thariqatnya lebih banyak dipelajari, baik oleh kalangan Sanusiah sendiri, kalangan Arab, maupun cendekiawan Eropa. Hal ini tidak lain karena sifat gerakan pembaruannya yang puritan, kecenderungan kecenderungan wahabinya, dan keterkaitannya secara langsung dalam melawan politik ekspansionis negara negara kolonial Eropa.[26]


Karena itu pula, Fazlur Rahman, orang pertama yang memperkenalkan istilah Neo sufisme, mengemukakan, Thariqat Sanusiah ini sebagai wakil par excellene dari Neo Sufisme tersebut.[27] Namun demikian para ahli banyak berbeda tentang tahun kelahirannya, tahun wafat ayahnya, pendidikan awalnya serta tahun perjalanannya.[28]


Sanusi Al-Kabir lahir di Mustaghnim (Al-Jazair) dari keluarga bangsawan yang saleh dan mencintai ilmu pengetahuan. Ayahnya wafat pada waktu itu berusia dua tahun, sehingga ia diasuh oleh bibinya, Sayyidah Fatimah, seorang guru terbaik di lingkungannya, yang meletakkan dasar dasar berpikir ilmiah serta pendidikan keagamaan baginya, sehingga pada usia sangat belia ia sudah menghafal Al-Quran.[29]


Ketika berusia 19 tahun ia pergi ke sebuah pesantren di Mazuma untuk belajar kepada para ulama ahli Tafsir, Hadits dan Fiqih terkemuka seperti Abu Ra's An-Nasiri dan Muhammad bin Ali Al-Mazuni. Usia 21 tahun ia melanjutkan belajar di universitas Qarawiyyin (Fez) yang merupakan salah satu pusat kajian Islam dan Bahasa Arab di Afrika Utara. Di sana, di samping mendalami ilmu ilmu agama ia juga mempelaJari ilmu ilmu umum seperti Aljabar, Fisika, Astronomi, Geometri dan Geologi di bawah asuhan ulama ortodok dan para sarjana terkenal lainnya masa itu. Di antaranya Ibnu Kiran, seorang ahli Hadits yang sebelumnya jadi guru Ahmad bin Idris.[30]


Ketika di Fez ini, Sanusi mempelajari ilmu Tasawuf di Zawiyah Ain Mahdi dari Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani pengasas Thariqat Tijaniyah yang sangat berjasa mengembangkan Islam di Afrika Barat. Selain dari At-Tijani ia juga mempelajari Thariqat Sadziliyah, Nasiriyah dan Darqawiyah. Setelah tujuh tahun di Fez, Sanusi pergi menunaikan ibadah Haji dan melanjutkan belajar kepada ulama Hijaz, mubaligh mubaligh wahabi serta mempelajari situasi global kaum Muslimin melalui jemaah haji yang datang dari berbagai penjuru.[31]


Pada tahun 1823 Sanusi Al-Kabir pergi ke Mesir dengan maksud untuk melanjutkan Studinya di Al-Azhar untuk beberapa lama. Akan tetapi kehadirannya di sana ternyata mengundang sikap permusuhan dari ulama Al Azhar yang merasa pengaruh mereka terancam hilang oleh ide ide inovatif dan reformatifnya. Para ulama yang mempertahankan status quonya bekerjasama dengan Muhammad 'Ali, penguasa Usmani di Kairo lalu mengeluarkan fatwa yang mencap As-Sanusi sebagai penyebar bid'ah, sehingga dengan perasaan muak ia meninggalkan Mesir lebih cepat dari rencana semula.[32]


As Sanusi kemudian kembali ke Hijaz. Pada masa inilah ia bertemu dengan Syarif Ahmad bin Idris Al-Fasi, Khalifah ke 4 Thariqat Khidiriyah yang dijadikan guru besarnya, baik dalam bidang ilmu eksoterik maupun isoterik. Ilmu eksoterik yang dipelajari As-Sanusi adalah Tafsir, Fikih, Muqarabah, Hadis (Kutubu Sittah, Muwatha Malik Musanad ibn Hanbal) dan Risalah Syafi'i Sedangkan dalam bidang Tasawuf, ia menerima dari Ahmad bin ldris ijazab Thariqat Thariqat Khidiriyah, Qodiriyah, Syaziliyah, Naqsyabandiyah, Suhrawardiyah, Uwaysiya, Hatimiyah, dan Nasiriyah.[33]


Hubungan antara Sanusi dan Ahmad bin Idris sangat akrab. Sanusi adalah murid yang paling setia dan berbakti. la mendampingi Ahmad bin Idris yang melarikan diri ke Zahid lantaran permusuhan ulama ulama Hijaz sampai gurunya wafat di Sabya. Setelah itu barulah As-Sanusi mendirikan Thariqatnya sendiri dengan membangun Zawiyah Jabal Abu Qubais.[34] Akan tetapi hubungan antara keduanya tidak semata hubungan intelektual, melainkan juga geneologis. Mereka sama sama berasal dari keturunan Idris, cucu Nabi Saw yang mendirikan Dinasti Idrisiyah di Maroko (789 985 M/172 375 H). Di antara garis turunannya terdapat Abd Salam Al-Mashish bin Abu Bakar dan Yamlakh Mashish yang menjadi dua orang wali terkemuka di Maroko. Jadi mereka sama berasal dari lingkungan syarif dan wali (saintly aristocratic) Afrika Utara.[35]


Ahmad bin Idris adalah guru besar yang sangat berpengaruh bagi ajaran-ajaran Sanusiah. Sebagai pembaharu dan Sufi keduanya sama sama menekankan perlunya ijtihad dan menolak untuk berpegang hanya pada salah satu mazhab. Menurut mereka, tak ada kewajiban kecuali apa yang telah diwajibkan Allah dan Rasul, dan tak seorangpun dari pendiri mazhab itu yang mengajarkan demikian, juga kerena hal tersebut akan memecah belah kaum muslimin. Dalam bidang spiritual, dapat dikatakan bahwa ajaran Thariqat Sanusiah sepenuhnya berasal dari Ahmad bin Idris dan tradisi salaf.[36] Kendati demikian ijazah atas beberapa Thariqat, As-Sanusi menggunakan silsilah Thariqat Khidiriyah, yang paling pendek menuju Rasulullah Saw. Untuk Thariqatnya, yakni, dari Ahmad bin Idris, dari Abd Wahhab At-Tazi dari Abd Aziz Ad Dabbagh, dari Khidir As. dari Muhammad Saw.[37]


Pada tahun 1838 Sanusi mendirikan Zawiyah pertamanya di Jabal Abu Qubais (Mekkah). Kepribadian dan ajarannya segera menarik perhatian banyak orang. Zawiyahnya menjadi kiblat bagi pecinta ilmu yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Lingkaran studinya (halaqah darusih) yang diatur dengan baik selalu dipenuhi kaum terpelajar. Beberapa zawiyahnya yang lain menyusul berdiri di kawasan Hijaz ini, yakni di Thaif, Jeddah, Badar, Madinah dan Yanbu.[38]


Namun keadaan demikian tak dapat berlangsung lama. Tantangan demi tantangan datang dari para ulama Hijaz yang merasa iri, terutama dari kelompok Al-Mirghani yang ajaran ajaran Thariqatnya cenderung kembali ke arah semangat mistikisme dan ekstasikisme Thariqat klasik, sehingga bersama lebih dari 70 pengikut setianya, Sanusi terpaksa pindah ke Cyrenaica (Libya). Tahun 1843 ia mendirikan zawiyah putihnya (zawiyah Al-Baidha), di atas bukit (Jabal) Akhdar, dekat Tripoli yang menjadi markas kegiatan Thariqat Sanusiyah, Di sini pula anaknya lahir.[39]


Thariqat Sanusiah merupakan perbaikan (islah) ummat baik dalam kehidupan beragama maupun ekonomi dan kemasyarakatan. Dalam prakteknya, gerakan ini menggalakkan bentuk bentuk kerja sama, membangkitkan solidaritas dan persaudaraan antar berbagai suku nomaden yang sebelumnya saling berperang. Pertemuan pertemuan di zawiyanya, dalam batas batas tertentu dimanfaatkan untuk berdzikir dan berdoa. Selain itu terutama diarahkan kepada pekerjaan pekerjaan sosial seperti memberi fakir miskin, memuliakan tamu serta pembinaan kasih sayang dan kesucian. Zawiyah bagi Sanusi tidak sekedar tempat untuk memberi bimbingan amal dan ilmu keagamaan kepada anggotanya, melainkan juga tempat untuk latihan keterampilan menunggang kuda, memanah, bertani dan berdagang. Ia menyeru umat agar mengamalkan Al-Quran dan Sunnah dengan sungguh sungguh, serta menjauhi bid'ah. la menunjukkan kesederhanaan dan kemudahan ajaran agama, antara lain dengan memanfaatkan kekayaan berbagai mazhab yang berkembang dalam Islam.[40]


Agar aman dari permusuhan penguasa Turki Usmani di Tripoli dan agar lebih dekat dengan suku suku Badui di pedalaman padang pasir Libya, Chad dan bagian utara wilayah Fezzan, beberapa tahun kemudian (1856) Sanusi memindahkan zawiyah baru di Jaghbub. Ketika ia wafat di sana tahun 1859, organisasinya telah tersebar di bagian terbesar Afrika Utara.[41]


Sepanjang hidupnya As-Sanusi mewariskan kekayaan intelektuainya dalam berbagai disiplin keilmuan. Yang dapat diketahjiui sekitar 50 buah. Sebagian masih berupa naskah, sebagian baru diketahui judulnya saja dan 10 buku sudah diterbitkan.


Sebagian besar karyanya berkenaan dengan ilmu ilmu dzikir (eksoterik) seperti Hadits, Sejarah dan Fiqih. Sekitar empat sampai lima karya dalam bidang ini, baik secara langsung maupun tak langsung berisi seruan untuk melakukan introspeksi ulang atas fiqih dan dasar dasarnya (ushul fiqh) melalui ijtihad.


Sejak paruh pertama abad 20 ini naskah naskah itu sudah diterbitkan oleh cucu cucunya, terutama Ahmad Syarif As-Sanusi yang menjadi khalifah Thariqat Sanusiah setelah Al-Mahdi As-Sanusi wafat. Buku buku. yang diterbitkan tersebut secara bervariasi terdiri dari antara 19 200 an halaman. Kemudian pada tahun 1968, atas prakarsa Muhammad Idris As-Sanusi, yang menjadi raja Libya tahun 1951 1969, delapan di antara buku tersebut dicetak ulang dan dihimpun menjadi satu buku dengan judul Al-Majmu’at Al-Mukhtarah (koleksi pilihan) di Dar Al-Kitab A¬l-Lubnani, Beirut 1388 (1968).[42]


Kesepuluh karya Sanusi yang diterbitkan adalah:
Dalam bidang Tasawuf
1. Salsabil Muin fi Taraiq Al-Arba’in;
2. Al Manhal Al-Rawi Ar Raiq fi Asanid Al-Ulum wa Ushul At-Taraiq;
3. Majmu 'Ahzab wa Aurad Tariqat As-Sadras Sanusiyah;
4. Nazm Siyaras Suluk fi At-Tarq ila Hadrat Malikal Mulk;


Dalam bidang Hadits:
5. Muqaddimat Muwaththa 'Al-lmam Malik;
6. Al Musalsalat Al-Asyara fi Ahadits An Nabawiyah;


Dalam bidang Fiqih dan Ushul:
7. Iqdz Al-Wasnan fi Al-Amal bi Al-Hadits wa Al-Quran;
8. Syifa' Al-Sadr bi Ara' Al Masail Al 'Afi Hikmi Raf’al Yadain fi As-Shalat wa Ghairih;
9. Bughyat Al-Maqasid fi Khulasat Al-Marasid;


Dalam bidang Sejarah:
10. Ad Durar As-Saniya fi Akhbar As-Sulala Al-Idrisiya[43]


Dalam buku As-Salsabil Muin fi Tharaiq Al-Arbain As-Sanusi menjelaskan pengalamannya di dalam, dunia, tasawuf ia mendaftarkan Thariqat Thariqat yang berkembang saat itu. Dari sejumlah Thariqat yang telah dipelajarinya, sekaligus daftar silsilah Thariqat Thariqat tersebut satu persatu sampai Nabi Saw. As Sanusi kemudian mengemukakan pandangan pandangan dan kesan kesan pribadinya terhadap Thariqat-Thariqat. Menurutnya, dari banyak Thariqat yang berkembang, terdapat ajaran ajaran yang menyimpang lantaran sempitnya pengetahuan tentang Syari'ah dan Tasawuf itu sendiri. Namun ia menegaskan pula bahwa Tasawuf adalah merupakan suatu jalan dalam beragama di samping syari'ah. Di sinilah Sanusi menunjukkan keterkesanannya kepada Al-Ghazali yang berhasil mendamaikan antara tasawuf dan syari'ah.[44]


Dalam Iqadz Al-Wasnan fi Al 'Amal bi Al-Hadis wa Al-Quran As-Sanusi menyerukan kembali agar umat kembali kepada Al Quran dan Sunnah, menyerukan dibuka pintu ijtihad. Ia juga mengkritik para ahli Hadits yang memahami hadits dari segi lafadz lafadz saja tanpa memperhitungkan konteks waktu. kapan dan tampat mana hadits itu diriwayatkan. Inilah salah satu ide As-Sanusi, yang seperti diakuinya sendiri, berasal dari pemikiran Ibn Taimiyah.


Mengenai ijtihad, Sanusi mengklaimnya sebagai tugas kaum muslim, terutama bagi yang memahami Al Quran dan Sunnah secara mendalam. Bagi yang belum memenuhi kriteria di atas selayaknya cukup mengetahui kedua sumber itu untuk dapat memiliki bukti bukti sebagai dasar pendapat pribadinya. Jika tak juga mampu melakukan itu, maka cukuplah baginya bertaqlid, tanpa harus mengikuti salah satu mazhab secara sempit. Dalam konteks ini, untuk lebih menjelaskan persoalan kriteria tersebut, As-Sanusi menempatkan masyarakat berdasarkan kemampuan mereka ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok awam yang hanya menerima apa adanya dan percaya saja kepada apa yang mereka dapat. Mereka membutuhkan Pembimbing. Kedua, kelompok yang telah memiliki kemampuan untuk memilih mana yang baik untuk dirinya sendiri dari sumber ajaran. Mereka juga masih memerlukan Pembimbing yang mendampingi agar tidak tersesat. Dan ketiga, adalah kelompok Khawas (elite intelektual) yang dapat mencapai kebenaran berdasarkan kemampuan mereka memahami Al-Quran dan Sunnah. Mereka harus melakukan Ijtihad.[45]


Setelah Sanusi Al-Kabir wafat tahun 1859, kekhalifahannya dilanjutkan oleh Muhammad Al-Mahdi (1844 1902). Ketika itu ia masih berusia 15 tahun dan dalam masa masa menekuni dunia pendidikan. Namun melalui tata cara dan ujian yang mempertaruhkan jiwanya manakala Sanusi Al-Kabir menantang anak anaknya dan murid muridnya yang lain untuk memanjat suatu pohon, lalu dengan meyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah meloncat dari pohon tersebut tanpa bantuan apa apa¬ Muhammad Al-Mahdi terpilih untuk melanjutkan perjuangan Thariqat Sanusiyah, walaupun untuk beberapa lama urusan keorganisasian dibantu oleh murid murid senior. Di bawah kepemimpinannya, yang seterusnya di bantu oleh adiknya, Muhammad As-Syarif (1846 1896) Thariqat Sanusiyah tersebar luas di Afrika Utara, Afrika Barat dan daerah Khatulistiwa Afrika dari danau Chad sampai ke Senegal. Keberhasilan Muhammad Al-Mahdi, menurut sebagian pendapat, juga lantaran adanya opini messianistik masyarakat umum. yang mengaitkannya dengan Imam Mahdi yang dijanjikan Tuhan (Al-Mahdi Al-Muntadzar).[46]


Muhammad Al-Mahdi meninggal pada tanggal 30 Mei 1902 dan kepemimpinannya dilanjutkan olek Ahmad Syarif As-Sanusi (1873 1933). Periode ini gerakan Sanusiyah terlibat dalam politik praktis, yakni dengan perlawanan mereka secara langsung menentang Inggris, Perancis dan terutama ltalia, yang dewasa itu saling memperebutkan daerah jajahan di Afrika. Tahun 1911 Italiaa mencoba merebut Libya dari Turki Usmani. Karena mempertimbangkan wilayah kekuasaannya di daerah Balkan (Eropa Tengah), Turki lebih mengandalkan gerakan Sanusiyah untuk menghadapi Italia. Kelompok Sanusiyah sebetulnya tidak begitu senang dengan Turki yang kala itu sedang mengalami proses sekularisasi, namun ia tetap menghidupkan semangat ijtihad dan didukung sepenuhnya oleh suku suku Badui di Libya itu, sehingga terjadilah Perang Pertama antara Italia dan Sanusiyah (First Italiao Sanusi War, 1912 1917). Usai Perang dunia ke II (1914 1918) Italia berusaha untuk minta bantuan Inggris, namun yang terakhir ini enggan menghadapi Sanusiyah. Tahun 1923 1932 terjadi pertempuran kedua atau scond Italiao Sanusi war yang menghancurkan gerakan Sanusiyah di Libya. Selama perang Italia Sanusiyah inilah sejarah memunculkan tokoh mujahid Umar Mukhtar yang terkenal sebagai "The Lion of Desert”.[47]


Seusai Perang Italia Sanusi Pertama, Ahmad Syarif As-Sanusi sudah pindah dari Afrika. la tidak lagi terlibat langsung dalam pertempuran, sebaliknya ia menekuni lagi Kehidupan spiritual/keruhaniannya di Jazirah Arab dan mengumpulkan ajaran ajaran kakeknya, Sanusi Al-Kabir untuk dibukukan, sedangkan pertempuran-pertempuran dipimpin langsung oleh Umar Mukhtar. Ketika itulah Kiyai Abdul Fattah dari Indonesia mengambil Thariqat Sanusiyah ini dari Ahmad Syarif.


(Dikutip dari Tesis Magister Salim Bela Pili, MA yang berjudul ‘Thariqat Al-Idrisiyyah, Sejarah dan Ajaran’)


________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar