PENGERTIAN SEMEDI
Semadi atau semedi adalah menghilangkan kehidupan jasad agar supaya seseorang dapat merasakan rahsaning gesang atau kehidupan sukma. Dengan sarana mengolah rasa disebut sirnaning papan lan tulis. Yakni jumeneng rasa jati yang benar-benar nyata, pasti dan weruh tanpa tuduh
(menyaksikan sendiri tanpa referensi), atau menyaksikan “sesuatu” tanpa
melibatkan badan wadag (akal-budi/ rasio/ pikiran/
imajinasi/mata-wadag). Keberhasilannya dengan cara meredam gejolak nafsu
jasadiah, dan dengan mengolah gerak-gerik anggota badan.
Kehidupan
jasad memiliki kesadaran yang rendah, sementara itu kehidupan sukma
memiliki kesadaran yang tinggi. Kesadaran jasadiah sifatnya rentan oleh
pengaruh nafsu-nafsu, di mana pikirannya terganggu oleh imajinasi rasio.
Dalam kehidupan sukma itulah terletak kesadaran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kesadaran jasad. Dapat digambarkan sukmanya keluar
dari badan wadag atau jasad. Dalam kondisi demikian kesadaran
jasadiah tidak lagi bisa mendominasi dan memanipulasi kesadaran batin.
Kesadaran sejati yang ada pada kehidupan sukma akan membersihkan batin
dari segala polusi dan imajinasi rasio dan nafsu-nafsu negatif.
Pemahaman ini merupakan gambaran dari lampahan Sri Kresna di Dwarawati
atau sang Arjuna yang meraga sukma. Untuk kita perhatikan semua, bawa
cerita ini sekedar dijadikan sebagai perlambang atau kiasan yang
memudahkan pemahaman akan hakekat dari semedi. Adapaun tujuan melakukan
semedi tidak lain untuk mengetahui alam kajaten atau kwahana
kesejatian, yang sungguh-sungguh nyata dan ada di luar nalar atau akal
budi kita.
SEMEDI & KESADARAN BATIN
Dalam
upaya semedi dapat terjadi kegagalan dan keberhasilan. Kegagalan biasa
terjadi dalam awal-awal latihan semadi namun lama kelamaan kita akan
menemukan irama atau “frekuensi” yang dirasakan sangat “ajaib”. Bagi
yang berhasil melakukan semadi pun ada dua kemungkinan yang berbeda
tataran keberhasilannya. Kemungkinan yang pertama, meskipun berhasil dalam semedi namun seseorang belum mencapai puncak kesempurnaan semedi. Raga telah berhasil “dimatikan” sehingga yang terasa hanya getaran dahsyat dalam rasa. Getaran itu bersumber dari pusat kehidupan (atma) yang terletak pada susuhing angin/jantung, lalu menjalar ke seluruh “badan”. Bukan “badan” jasadiah semata, namun getaran itu terletak dalam badan halus/metafisik.
Bila dirasakan sepintas lalu seolah badan wadag lah yang bergetar.
Getaran berbeda dengan rasa gemetaran. Jika dikonotasikan sebagai prana
ia sama-sama bersumber dari getaran rasa sejati. Bagi pelaku semedi yang
masih berada pada tingkat ini hendaknya jangan merasa pesimistis karena
tetap bisa merasakan berbagai keajaiban yang akan terjadi dalam wahana
kesadaran semedi. Misalnya muncul bayangan atau gambaran gaib yang dapat
menjelaskan sesuatu rahasia alam atau sebagai pralampita yang dapat
menjadi petunjuk akurat dan tepat terhadap pelaku semadi. Kemungkinan kedua, pelaku semedi dapat mencapai tataran sempurna atau kesempurnaan.
Parameter kesempurnaan terjadi bilaman sukmanya benar-benar lepas dari
badan wadagnya sendiri. Sukma dapat melanglang ke dalam buana gaib,
menjelajah dalam ruang-ruang gaib yang berada di luar akal budi (jasad)
yang menemukan kesadaran tinggi. Inilah yang disebut rahasia meraga
sukma. Namun bagi yang berhasil meraih kesempurnaan dalam semedi –yang bermuara pada kejadian raga sukma– hal ini menjadi nilai tambah yang sangat bermanfaat. Meraga sukma bermanfaat besar untuk memperoleh kesadaran tinggi untuk memahami being dalam eksistensi noumena
atau eksistensi di alam gaib. Tentu saja kejadian ini akan menjadi
daya tarik tersendiri bagi sebagian orang yang selalu dahaga dunia
spiritual. Karena pelaku semedi akan memperoleh kesadaran tinggi dan
dapat mengetahui hal-hal yang orang lain tidak ketahui/sadari. Mengapa
kesadaran tinggi diidamkan kebanyakan orang, tidak lain karena kemuliaan
hidup yang sejati menuntut adanya kesadaran tinggi terlebih dulu. Tidak
menjadi masalah bila kesadaran tinggi kita berasal dari referensi orang
lain, kitab suci, maupun buku pedoman. Hanya saja bila kita merasakan
sendiri pengalaman gaib secara langsung akan menjadikan sebagi
pengalaman hidup yang sangat sensasional dan berharga. Hal ini bukan lah
iming-iming namun sungguh apa adanya.
KUNCI KEBERHASILAN
Kesadaran
sejati atau kesadaran batin dapat dicapai oleh siapapun tanpa
tergantung agama dan ajarannya, asalkan seseorang mampu memerdekakan
diri dari hegemoni kekuasaan nafsu negatif yang bercokol dalam jasadnya
sendiri. Ibaratnya nafsu adalah kulit yang harus dikupas agar kita dapat
menikmati daging buahnya. Nafsu jasadiah seumpama cadar bagi mata
batin, bila dibuka cadarnya maka mata batin akan dapat menjalankan
fungsinya dengan baik dan semua eksistensi gaib akan dapat dilihat
dengan jelas. Pengendalian hawa nafsu bukanlah hal mudah ia perlu
latihan terus menerus dengan kesabaran dan ketulusan. Tanpa bekal itu
akan sulit mencapai tataran kesempurnaan dalam olah semedi.
Dalam olah semedi pun harus dilakukan dengan rajin, sabar, ulet dan
telaten jangan mudah menyerah dan cepat bosan. Biasanya jika sudah
merasakan keberhasilan awal lantas akan menjadi ketagihan untuk lebih
giat melatih diri. Dua langkah utama yang menentukan keberhasilan yakni
: mengendalikan nafsu, membersihkan hati dan batin dalam perbuatan
sehari-hari dan rajin olah badan dalam tatacara semedi.
Teori Merubah Frekuensi
Kesadaran
jasad jika diumpamakan sebagai gelombang AM radio, kejernihan dan
kejelasan suaranya teramat rentan terjadi distorsi akibat gangguan
kondisi cuaca alam yang buruk. Gelombang AM diumpamakan sebagai
kesadaran jasad atau akal budi, sementara cuaca alam yang buruk seumpama
gangguan imajinasi akal-budi dan nafsu. Artinya kesadaran
ragawi atau jasad mudah sekali terkena tipu daya “setan” dalam hal ini
nafsu dan imajinasi kita sendiri. Lain halnya dengan kesadaran rahsa
sejati, diumpamakan gelombang FM radio. Suaranya jernih, bersih dan
jelas. Gelombang FM juga tidak terpengaruh oleh cuaca alam yang buruk.
Sekalipun terjadi angin ribut, hujan lebat dan guntur tidak akan menjadi
gangguan kejernihan suara. Karena gelombang FM terpisah dan berbeda
dari gelombang cuaca buruk. Ia berada dalam koridor frekuensi yang
terpisah dari berbagai gelombang cuaca alam. Artinya, kesadaran rasa sejati terpisah dan tidak terpengaruh oleh imajinasi akal budi dan nafsu-nafsu negatif. Tugas semedi adalah mengalihkan gelombang atau frekuensi kita dari frekuensi AM ke FM.
Dari kesadaran ragawi/jasad ke kesadaram rasa sejati (rasa
pangrasa/indera ke-enam). Kelebihannya adalah dapat menangkap sinyal
dari frekuensi rendah hingga yg paling tinggi sekalipun. Segala yang
tadinya rahasia dan tertutup oleh nafsu dan rasio menjadi tersingkap
semuanya tampak jelas.
SEMEDI ; RADIO TRANSISTOR
Cara lebih mudah membayangkan fungsi olah semedi,
saya mengambil analogi seumpamanya kita merubah diri kita menjadi
radio transistor. Sebenarnya dalam ruang udara terdapat banyak sekali
berbagai macam gelombang suara dari yang paling rendah hingga yang
paling tinggi. Contohnya antara lain suara jangkrik sawah yang tidak
bisa masuk jika direkam dengan pita kaset biasa. Atau suara kelelawar
yang memiliki suara ultrasonik yang frekuensinya sangat tinggi sehingga
tidak bisa ditangkap dengan telinga manusia. Begitu pula suara ikan paus
yang dapat memancarkan gelombang suara sangat jauh namun sulit
ditangkap telinga manusia pula. Begitu juga gelombang suara yang
dipancarkan antena transmisi stasiun radio tidak akan bisa ditangkap
oleh telinga manusia sebelum dirubah dengan alat bernama radio
transistor yang berfungsi merubah gelombang suara menjadi berfrekuensi
yang sepadan dengan daya tangkap kuping manusia. Sebelum dirubah oleh
alat elektronik radio transistor, gelombang suara bagaikan suara
eksistensi gaib. Nah analogi ini menjelaskan bila semedi ibaratnya
merubah diri kita menjadi “radio transistor” yang dapat menangkap
gelombang suara menjadi bunyi-bunyian. Artinya semedi merupakan sarana
agar supaya kita dapat mendengar dan menangkap frekuensi yang terdapat
di alam gaib. Dapat pula diistilahkan kita sedang menselaraskan antara “frekuensi jasad” kita dengan frekuensi gaib. Sebenarnya yang diselaraskan bukan frekuensi jasadnya dengan frekuensi gaib melainkan pindah chanel dari frekuensi “AM” ke frekuensi “FM”.
Ke mana kita musti beli frekuensi FM ? Tidak perlu repot, karena di
dalam setiap diri manusia telah terdapat frekuensi “FM” bawaan lahir
yang sepadan/sinergis dengan “frekuensi” alam gaib, yakni frekuensi yang
dimiliki rahsa sejati (rasa pangrasa). Tidak hanya manusia bahkan binatang malah lebih tajam “indera keenam”
nya ketimbang manusia karena binatang tidak memiliki hawa nafsu. Kita
dapat mencermati dari ayam, anjing, angsa dan binatang lainnya yang
memiliki frekuensi sepadan dengan dimensi gaib. Binatang-binatang
tersebut sering berlari ketakutan dikejar sesuatu yang tidak tampak oleh
mata wadag.
TATA CARA SEMEDI
Semadi atau semedi, artinya sarasa = rasa tunggal = maligining rasa = rasa jati = rasa pangrasa. Disebut pula dengan maladihening, mesu budi, manekung, puja brata, tarak brata, dan masih banyak lagi istilahnya. Pada intinya olah semedi melibatkan dua kegiatan, pertama yakni ; SOLAH atau perilaku anggota badan dalam upaya “menidurkan” atau “mematikan” anggota raga untuk merasakan hidupnya rasa sejati. Kedua yakni BAWA
atau perilaku batin, dengan cara mengolah rasa agar mencapai tingkat
kesadaran yang lebih tinggi lagi. Atau menghidupkan batin kita yakni
merasakan atma (energi hidup) dalam sukma sejati. Agar tidak rancu perlu
saya tegaskan perbedaan antara sukma sejati dengan rasa sejati yakni ;
sukma sejati dapat dilihat wujudnya, sedangkan rasa sejati hanya bisa dirasakan sebagai energi atma/ hidup/ kayun/ kayu/ chayu.
Sukma sejati adalah roh/ruh/ruhulah sementara rasa sejati adalah
sir/sirulah (lihat thread : Maklumat Jati). Terdapat banyak sekali
tatacara semedi, misalnya sembari duduk bersila, bisa juga sembari
baringan atau merebahkan badan. Berikut ini saya jabarkan tata cara
semedi sambil membaringkan badan.
- Carilah tempat yang nyaman, tenang, dan aman agar konsentrasi anda tidak terganggu oleh suasana lingkungan sekitar. Jangan melakukan semedi di tempat yang berbahaya misalnya tepi sungai, tepi jurang atau di antara semak belukar. Hal ini untuk menghindari resiko jatuh terperosok termasuk terjadinya serangan binatang buas, serangga berbisa dsb. Bisa pula di lakukan di dalam rumah atau kamar tidur anda. Carilah waktu watu saat yang tenang biasanya setelah beranjak larut malam. Keheningan suasana atau suara alam yang lembut justru justru sangat membantu dalam menciptakan konsentrasi. Setelah menemukan tempat yang tepat lalu baringkan badan anda…
- Posisi badan telentang menghadap ke atas, seperti mau tidur. Jangan ada anggota badan yang posisinya kurang nyaman. Seluruh anggota badan “jatuh” menempel di pembaringan tanpa ada penahanan sedikitpun. Seluruh otot dan syaraf harus rileks atau loss. .
- Tangan sedekap atau sedakep (sedeku) dengan posisi lengan atas tetap menempel di lantai/tempat berbaring sementara lengan bawah diletakkan di atas dada. Jari-jari tangan saling mengunci. Atau bisa juga agar lebih rileks, tangan diluruskan ke bawah (arah kaki), kedua telapak tangan menempel di paha kiri kanan sebelah luar.
- Mata terpejam seakan anda sedang bersiap menidurkan diri. Bola mata tidak boleh bergerak-gerak, tahan dalam posisi pejam dan bola mata diam tidak bergerak, disebut meleng.
- Kaki lurus rileks telapak kaki kanan ditumpang di atas telapak kaki kiri disebut sedakep kaki tunggal, disebut saluku.
Posisi
dan langkah-langkah di atas bertujuan untuk menghentikan daya cipta
meliputi imajinasi, angan, pikiran, kemauan, gagasan. Selain itu olah
pasamaden sebagai upaya menutup aliran panca indera yakni indera perasa,
pendengaran, dan penglihatan. Selanjutnya
samadi atau semedi seyogyanya diimbangi dengan perilaku sehari-hari
dengan mengurangi makan, minum, tidur dan lain sebagainya.
Semedi merupakan salah satu cara meraih kemuliaan hidup, secara keseluruhan terdapat tujuh macam tahapan atau tingkatan “laku” yang harus dikerjakan apabila ingin mencapai tataran hidup yang sempurna, yakni :
1. Tapaning Jasad
Sopan
santun dan mawas diri. Dalam olah semedi dengan cara mengendalikan /
menghentikan daya gerak anggota tubuh atau kegiatannya.
2. Tapaning Budi
Menghindari
angan-angan dan prasangka yang buruk. Dalam olah semedi dengan bersikap
positif thinking agar pikiran menjadi bersih dan dapat membentangkan
pandangan seluas-luasnya. Namun jangan biarkan imajinasi menguasai rasio
anda.
3. Tapaning Hawa Nafsu
Rela, legowo, menerima apa adanya (qonaah),
sabar dan ikhlas. Jangan menyakiti hati sesama. Sabar menghadapi
gangguan dan godaan dari dalam dan luar. Tidak suka iri hati dan dendam.
Kuat lara wirang atau dipermalukan. Dalam olah semedi dengan cara sikap tidak buru-buru, sumeleh, mengalir apa adanya.
4. Tapaning Sukma
Menenangkan
jiwa dan selalu jujur pada diri sendiri dan orang lain. Bersikap
dermawan. Perbuatan lahir batinnya selalu diarahkan pada kebaikan. Tanpa
pamrih semua hanya netepi sifating Zat. Dalam olah semedi harus
bersikap pasrah, bersandar hanya kepada Hyang Widhi. Tidak memaksa diri
mencapai hasil. Namun lebih mengutamakan prosesnya yang benar dan tepat.
5.Tapaning Rahsa
Perilaku yang utama, luhur budi pekertinya. Tidak takut bila menderita, dan kuat laku prihatin.
Tidak suka mengurusi (intervensi) hal yang bukan kewenangannya. Selalu
mawas diri dan giat mencari ilmu hakekat. Dalam olah semedi indera
perasa jasad dimatikan diganti dengan rasa pangrasa. Merasakan getaran indera ke-enam, atau rahsa sejati.
6.Tapaning Cahya
Menjaga kesucian lahir batin. Dalam olah semedi, selalu terkonsentrasi pada cahya di pangkal hidung antara kedua mata atau papasu.
7. Tapaning gesang
Selalu eling dan waspada
serta mempunyai daya memahami sesuatu secara tepat. Jangan sampai
kabur atau samar karena kepalsuan “kulit”. Olah semedi hendaknya selalu
ditujukan untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan pribadi dan orang
lain. Berusaha berjuang sekuat tenaga secara berhati-hati, kearah
kesempurnaan hidup, manembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yakni target
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sebagai kunci untuk memahami
isi Rasa Jati, untuk mencapai sesuatu yang luhur. Maka dalam meraih
kemuliaan hidup mutlak diperlukan sinkronisasi antara perbuatan lahir
dan batinnya (solah dan bawa).
PATRAPING NETRA
Konsentrasi mata difokuskan pada satu titik yakni pangkal hidung, letaknya di antara ke dua belah mata, diisitilahkan papasu.
Kedua belah mata terpejam, namun manik mata memandang ke arah papasu.
Di situ bisa langsung tampak ada cahaya atau sinar mencorong/terang
mencolok biasanya berwarna putih kekuningan. Bila cahaya di papasu
belum muncul dan masih tampak gelap gulita anda harus bersabar, tunggu
beberapa saat hingga cahya muncul sedikit demi sedikit lalu berubah
menjadi semakin terang bahkan bisa sangat menyilaukan. Bila posisi di
atas sudah bisa anda lakukan dengan rileks, selanjutnya giliran menata
nafas anda. Setelah dibarengi olah nafas yang rilek anda tinggal
konsentrasikan mata pada arah papasu.
Lama-kelamaan cahaya kuning terang semu keputihan semakin terang,
pusatkan konsentrasi pada cahaya tersebut. Tunggu dengan sabar dan rilek
hingga akan muncul gambaran seperti lorong. Tugas anda bergerak
mengikuti lorong tersebut dengan perasaan. Pergerakan dikomando oleh kareping rahsa, yakni kehendak rasa sejati.
Nantinya lorong akan seperti berkelok melengkung-lengkung namun bukan
menikung tajam. Lorong itu akan berujung pada wahana ruang yang sangat
terang benderang. Anda seolah masuk ke dalam ruang yang sangat luas dan
sulit digambarkan eksotisnya. Itulah ruang gaib.
Pada
tahapan ini belum terjadi raga sukma. Peristiwa ini, kesadaran kita
hanyalah sebatas berada di antara dunia wadag dengan dunia meta yang
gaib. Dengan menggunakan mata batin kita menyaksikan eksistensi gaib
melalui “jendela” dimensi gaib. Artinya sukma anda belum memasuki alam
gaib. Namun kesadaran batin kita bagaikan energi telekinetik bisa
menjelajah ke tempat atau lokasi yang kita inginkan. Di analogikan
penglihatan batin kita berubah fungsi sebagaimana alat periskop yang
dimiliki kapal selam. Jika diumpamakan kesadaran jasad kita bagaikan
berada di dalam kapal selam yang pandangannya sangat terbatas pada obyek
yang ada di sekeliling kita dalam jarak yang sangat pendek. Maka mata
batin bagaikan alat periskop yang bisa digunakan untuk melihat ada apa
di atas permukaan air.
Pada
saat semedi minimal orang akan mendapatkan semacam ilham atau wisik
yang dapat menjadi petunjuk untuk mengambil keputusan atau apa yang
harus dilakukan dan dihindari. Bila
latihan olah semedi dilakukan dengan telaten, lama-kelamaan akan
mencapai tahap selanjutnya dimana sukma akan keluar dari badan wadag.
Pada tahap ini anda akan merasakan keanehan-keanehan ;
- Merasakan seolah badan kita tidak bernafas dan indera perasa tidak merasakan sesuatu apapun, namun kita sadar bahwa diri kita tetap lah hidup.
- Pada tahap ini kadang terdengar suara-suara (gaib) yang terdengar asing dan aneh. Suara-suara tersebut berasal dari dimensi lain. Karena kesadaran anda telah berada di ambang batas antara dunia wadag dengan dunia gaib. Suara-suara tersebut bukanlah sengaja mengganggu justru menunjukkan bila anda sudah mulai berhasil merubah diri anda menjadi “radio transistor”. Nah, pada tahap ini terkadang anda dapat menangkap petunjuk, sasmita, pralampita yang berasal dari para leluhur. Anda juga tidak perlu khawatir digoda setan/makhluk halus/hantu/demit/jin dsb, karena langkah semedi anda yang mematikan nafsu ragawi sudah cukup menguatkan mental dan batin anda, dan menjadi pagar gaib yang cukup kokoh.
- Melihat badan kita sendiri dari luar tubuh. Biasanya kita melihat diri kita seolah sedang tertidur pulas, atau sedang duduk bersila sesuai dengan posisi sewaktu kita melakukan semedi.
- Bila sudah terjadi posisi demikian, anda janganlah panik atau takut, tetap kendalikan semuanya melalui kehendak rasa anda sendiri. Misalnya anda ingin menjauh dari tubuh atau ingin menyatu kembali dengan tubuh semua perintah di bawah kendali sang rasa sejati, yakni kehendak rasa.
- Antara sukma anda dengan badan wadag bagaikan mengandung energi magnet yang saling tarik menarik. Bila anda berkehendak ingin kembali masuk ke tubuh seketika akan terasa ada energi kuat yang menyedot sukma ke dalam badan wadag. Energi tersebut saya identifikasi sebagai nyawa. Bedanya dengan orang yang meninggal dunia, nyawa sebagai daya perekat sudah tidak ada lagi. Dapat diumpamakan “lem perekat” antara sukma dengan badan wadag sudah hilang, sehingga terjadi pelepasan/perpisahan kekal antara sukma dengan badan wadag.
- Selama badan anda sehat wal afiat tidak perlu khawatir kelepasan.. J karena eksistensi nyawa itu prinsipnya tergantung dari kondisi kesehatan atau performance badan anda sendiri. Bila sukma anda berkelana tidak akan terjadi kematian selama nyawa masih bekerja sebagai “lem perekat” atau penghubung antara sukma dengan jasad. Untuk memudahkan pemahaman raga sukma dapat saya contohkan dengan orang yang sedang main layang-layang. Layang-layang diibaratkan sukma sejati kita, tali layang-layang adalah nyawanya, dan orang yang memainkan layang-layang adalah badan wadagnya. Antara layang-layang dengan seseorang yang memainkan masih tetap terhubung oleh tali layang-layang tersebut.
- Bila anda merasa sukma sudah berada di luar tubuh hendaknya melatih untuk bepergian dalam jarak dekat dulu, baru kemudian semakin lama semakin jauh. Karena bila anda langsung berjalan jauh, terkadang mengalami kesulitan untuk kembali ke badan. Seumpama orang sedang berjalan menyusuri hutan belantara yang belum anda kenali seluk beluknya serta lupa jalan pulangnya. Hal ini sangat berbahaya, karena dalam tahap awal badan wadag anda belum kuat ditinggal sukma sejati terlalu lama. Persendian akan terasa kaku-kaku, peredaran darah tidak lancar dan tekanan darah (HB) nya bisa drop. Resiko ini yang dapat berakibat terjadi kematian.
OLAH NAFAS
Selanjutnya
mulai menata irama nafas khusus diperlukan dalam olah semedi. Nafas
ditarik dalam-dalam, jangan tergesa dan kasar, lakukan dengan cara yang
lembut, namun kuat dan sepanjang-panjangnya nafas hingga habis. Rasakan
nafas mulai memenuhi puser kemudian semakin penuh naik hingga ke dada
terasa penuh sesak lalu rasakan semakin naik hingga ke cethak atau
langit-langit mulut, terus naik lagi hingga ke ubun-ubun kepala. Proses
masuknya nafas memenuhi puser hingga ke ubun-ubun dilakukan dalam sekali
tarikan nafas. Memakan waktu antara 4-7 detik. Atau dalam hitungan
normal dari angka ke 1 hingga ke 7.
Setelah
nafas mencapai ubun-ubun tahan sebentar dalam hitungan 7 detik lalu
keluarkan nafas melalui mulut dalam hitungan 4 atau dalam waktu 4 detik.
Prinsipnya jumlah tarikan nafas harus selalu lebih besar dibanding
keluarnya nafas.
SASTRA CETHA
Rasakan
pula saat menahan nafas di ubun-ubun, pada awalnya terasa ringan lalu
semakin lama semakin berat, jika sudah terasa berat sekali kemudian
lepaskan pelan-pelan seolah menurunkan beban yang mudah pecah. Beban itu
sesungguhnya pergerakan rasa jati ada pula yang menyebut sebagai tenaga dalam yang terkonsentrasi. Olah nafas demikian disebut sastra cetha; sastra adalah empaning kawruh, atau kiasan sebagai umpan ilmu. Cetha adalah antebing swara cethak. Cethak
adalah langit-langit mulut tempat keluarnya bunyi. Mengapa disebut
sastra cetha, yakni untuk menggambarkan olah nafas yang ditarik hingga
ke ubun-ubun. Nafas bisa mencapai ubun-ubun bila cethak ditutup rapat sehingga tidak lebih dulu gembos melalui mulut. Bila nafas tidak ditahan dengan cethak hanya akan mengikuti jalannya nafas yang wajar dengan sendirinya. Nafas tidak dapat mencapai ubun-ubun hanya sampai di cethak langsung turun lagi.
DAIWAN
Daiwan atau dawan artinya mengatur keluar masuk nafas yang panjang, rileks dan penuh kesabaran, tidak kemrungsung,
buru-buru. Daiwan berarti pula panjang tanpa ujung, langgeng atau
abadi. Maksudnya adalah sarana hidup kita yang langgeng berada di dalam
nafas kita. Nafas adalah keluar masuknya angin dalam badan seiring
dengan keketeg panglampahing rah/roh. Bila kedua unsur tersebut
(nafas dan roh) berhenti bekerja dinamakan mati yakni rusaknya badan
wadag lalu kembali kembali ke asalnya. Maka nafas yang selalu keluar
masuk badan hendaknya dipanjangkan sepanjangnya agar kita memperoleh
energi kehidupan lebih panjang lagi.
Keluar masuknya nafas benar-benar dirasakan adanya energi hidup (atma/chayu/kayu/kayun) sembari mengucap mantra dalam hati/batin saja. Mengucap “hu” pada saat nafas ditarik dari puser ke arah ubun-ubun. Lalu mengucap “ya” pada saat keluarnya nafas yakni turunnya nafas dari ubun-ubun ke arah pusar. Naik turunnya nafas tadi melewati dada dan cethak. Nah, disebut sastra cetha karena pada saat mengucapkan kedua mantra hu – ya dibarengi dengan pengendalian buka tutupnya cethak untuk menahan dan melepas nafas.
Setelah masuknya Islam ke nusantara, terjadi beberapa anasir seperti dalam wirid naqshabandiyah SSJ mantra hu – ya dirubah bunyi menjadi hu – allah.
Namun kemudian terdapat mazab lain di luar mazabnya SSJ, dan melakukan
modifikasi mantra hu – allah menjadi haillah – haillallah, dikenal
sebagai wirit satariyah. Perbedaannya, dalam tradisi satariyah ini tidak dilakukan menahan nafas, melainkan hanya bernafas seperti biasanya.
Apapun
kata dan bahasa yang digunakan dalam mantra toh tidak ada pengaruh
dalam keberhasilan semedi. Letak keberhasilan semedi bukan pada ucapan,
namun bagaimana kita harus memahami dan menghayati makna hakekat dari hu – ya, hu – allah, maupun hailah – hailallah. Jangan terjebak oleh rangkaian kata-katanya namun konsentrasi harus di fokuskan kepada getaran Zat Mahamulia. Hu atau ha atau a atau the
berarti “sesuatu”, yakni menggambarkan sesuatu yang paling dan maha,
tidak lain adalah eksistensi Zat tertinggi yang tanpa nama sebagai
tingkat pemahaman akan tataran hakekat Zat.
TRIPANDURAT
Satu kegiatan olah nafas dinamakan sastra cetha yakni
sekali kegiatan menarik/menyedot nafas melalui hidung lalu di tahan,
selanjutnya dilepas lagi lewat mulut. Setiap kegiatan olah sastra cetha,
tidak perlu dilakukan terus menerus dalam waktu yang lama tanpa putus.
Sebaliknya dilakukan saja secara wajar misalnya 3 kali melakukan olah sastra cetha kemudia istirahat sejenak lalu dimulai lagi. Tiga kali melakukan olah sastra cetha disebut tripandurat. Tri ; tiga, pandu ; suci, rat ; jagad/ badan. Maksudnya tiga kali melakukan olah sastra cetha dapat menghasilkan persentuhan antara makhluk dengan Sang Pencipta atau tumameng ing ngabyantaraning yang Mahasuci, bertempat di dalam ubun-ubun atau suhunan yakni ingkang dipun suwuni.
Naik dan turunnya nafas dinamakan wahana paworing kawula-Gusti. Pada saat nafas di tarik mencapai ubun-ubun atau suhunan lantas ditahan, nafas berhenti sejenak. Posisi yang demikian dinamakan ; kita jumeneng Gusti, bila nafas sudah diturunkan kembali ke pusar (sembari nafas keluar perlahan lewat mulut) kita kembali dinamakan sebagai kawula. Sampai pada penjabaran ini jangan sampai para pembaca keliru memahami. Adapun yang dimaksud manunggaling kawula-gusti bukanlah nafas kita, melainkan daya cipta.
Olah semedi harus membentangkan atau merentangkan keluar masuknya nafas
agar menjadi panjang. Sembari mengheningkan dan membeningkan mata,
karena mata kita berasal dari rasa pangrasa atau indera ke-enam.
Begitu seterusnya hingga merasakan kemajuan-kemajuan. Ukuran kemajuan dalam latihan olah nafas
bilamana mampu menahan nafas lebih lama lagi dari sebelumnya dan kuat
melakukan latihan olah nafas dalam waktu yang semakin lama pula. Dengan
kata lain jam terbangnya semakin tinggi.
Adapun
olah semedi dapat dilakukan sepanjang masa, pada saat duduk, berdiri,
berjalan, maupun saat bekerja. Namun cara yang dapat ditempuh cukup
mengucap mantra hu – ya dalam setiap hela nafas keluar masuk.
Tidak perlu diucap dengan lisan lebih utama ucapan mantra selalu
terpatri di dalam hati menyambung koneksi antara diri sejati dengan
Ilahi.
MANFAAT SEMEDI
Olah
pasamaden atau ulah semedi sangat bermanfaat untuk kesehatan lahir
batin, dan menjadi sarana belajar mengetahui hal-hal yang tersimpan di
dalam rahasia gaib. Sehingga disebut pula sebagai sastra jendra hayungrat pangruwating diyu.
Sastra = empaning kawruh, jendra = harja-endra, harja = raharja, endra = ratu/dewa, yu = rahayu/wilujeng, ningrat
= jagad/tempat/badan. Maknanya ; intisari ilmu pengetahuan sejati yang
berguna untuk membangun kesadaran dan keselamatan, kesejahteraan, dan
ketentraman.
Pangruwating diyu = menjaga diri dari diyu. Diyu
= raksasa/denawa/asura/buta atau sifat raksasa bodoh, angkara murka
dan gemar menganiaya, yakni sifat-sifat kebalikan dari dewa, sebagai
lambang segala sesuatu yang baik. Maknanya ; olah semedi yang dapat
menyirnakan segala hal yang buruk/jahat, gangguan, dan segala
marabahaya.
Dari
pengertian sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu mengandung makna
yang mendalam yakni; siapapun yang tidak enggan melakukan olah semedi
akan memperoleh berbagai kebaikan, dapat mengendalikan nafsu negatif,
hatinya bersih, batin dan nuraninya tajam, naluri dan instinknya menjadi
semakin kuat, memiliki sense of human, kepekaan sosial, kepekaan indera
keenam (rahsa sejati). Bila badan sedang sakit atau dirasa tidak enak,
akan menjadi sirna sakitnya. Sifat temperamental menjadi sopan santun,
sabar, belas kasih dan lapang dada. Gemar bohong berubah menjadi jujur.
Yang bodoh menjadi pinter. Yang sudah pinter menjadi pinter sekali.
Hasil dari olah semedi dapat dikiaskan sebagai berikut ; yang
sudra menjadi waesia, yang waesia menjadi satria, yang satria menjadi
brahmana, yang brahmana menjadi berbadan braja berjiwa bethara. Yang
gemuk jadi kurus, yang kurus jadi gemuk, yang cronges jadi tampan (J
..just kidding). Tapi jangan pesimis dulu, berkat olah pernafasan ada
beberapa yang berhasil kok, yang tadinya gemuk menjadi ideal. Seperti
halnya berbagai perguruan ilmu “tenaga dalam” sudah membuktikan manfaat olah semedi
(pernafasan) ini terutama dalam menjaga stamina dan kesehatan. Jika
badan sehat, stamina bagus, maka jasad tidak mudah rusak, berarti dapat
menghabiskan usia yang digariskan tuhan, dan tentu saja tidak terjadi
“kematian prematur” akibat human error, kecerobohan dan mismanajemen dalam menjalani kehidupan ini.
“sawarnaning
kapiawon tuwin saliring godha rencana, bebaya pakewed punapa kemawon,
ingkang tuwuh saking cidraning manah pribadi, punika sedaya sirna lebur
dening pangastuti ulah semedi, inggih amesu cipta, mesu budi,
maladihening, ulah pasamaden, sedaya punika namung kangge amurmeng
pandulu paworing kawula kalawan gusti. Makaten ugi sedaya sawarnining
bebaya ingkang medal saking pandameling tiyang sanes, sanadyan ugi kewan
ingkang wantun angganggu damel, temtu ketaman ing wilalat, peksi miber
ingkang ngungkuli temtu pejah sirna kuwandhanipun. Punapa dene tumrap
sasamining titah ingkang nedya anglawan, angremehaken tuwin angluhuri
kamenangan dateng sasaminipun, temtu boten badhe kalampahan. Salagi
saweg purun papandengan kemawon sampun tamtu badanipun gemeter lolos
otot bebayunipun. Inggih margi saking kaungkulan perbawa ingkang tansah
sumunar gumawang purbawisesanipun kadosdene wimbaning purnama sada”.
Karena
itu dalam kaitannya dengan olah asamaden, Ilmu Sastra Jendra disebut
pula sebagai ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh semesta alam
beserta perkembangannya. Manfaat Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu ialah tatacara, jalan atau cara untuk mencapai
kemuliaan dan kesempurnaan hidup yang sejati.
sumber:sabda langit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar