Ajisaka
Sebuah Perenungan tentang Sosok Ajisaka
Karena kehendak Allah jugalah terjadinya manusia, hewan, pepohonan, kutu walang ataga, yang kesemuanya itu terjadi serta hidup dan dapat dilihat secara nyata wujudnya (ana rupa-wujude). Atas kehendak Allah tersebut yang luluh pada diri manusia, menyebabkan manusia memiliki keluhuran, keimanan, bawa laksana,
welas asih, keadilan, ketulusan, eling lan waspada. Kesemuanya itu memberikan manusia kemuliaan (kamulyan) dan kesejahteraan (karahayon). Rasa tersebut juga menghubungkan kehidupan manusia dengan Allah Sang Maha Pencipta.
Ca-ra-ka
sendiri pengertiannya adalah memuliakan Allah. Sebab tanpa ada bawana
seisinya, apalagi tanpa adanya manusia, tentu tidak akan ada sebutan
Asma Allah. Tanpa adanya caraka, tentu pula Hana-Ne tidak akan disebut
Hana. Sementara makna Da-ta-sa-wa-la dapat dijelaskan maknanya sebagai
berikut. Adanya yang ada (anane dumadi) sumber asalnya adalah Satu,
yaitu Dzat Allah. Dari yang kasar dan halus (agal lan alus), wingit
(penuh misteri) dan gha’ib, pasti pada dirinya melekat setidaknya
secercah Dzat Allah (kadunungan sapletheking Dzat Allah). Artinya,
pancaran kun fayakun itu tidak hanya mencipta bawana seisinya, namun
terus-menerus memancarkan kasih, mencermati dan meliputi terhadap
seluruh kehidupan (ngesihi, nyamadi lan nglimputi sakabehing dumadi).
Allah
menciptakan bawana seisinya, khususnya dalam menciptakan manusia, bukan
tanpa rencana, namun dengan keinginan dan tujuan yang nyata dan pasti.
Titah Allah tidak dapat diingkari dari apa yang sudah ditetapkan menjadi
kodrat (pepesthen). Demikian juga seluruh makhluk hidup di dunia
(saobah-mosiking dumadi) pasti terkena keterbatasan dan pembatasan
(wates lan winates), seperti halnya sakit dan kematian. Namun selain
itu, juga melekat dalam dirinya (kadunungan) kelebihan satu dari yang
lain, saling ketergantungan, lebih melebihi (punjul-pinunjulan) dan
saling hidup-menghidupi (urip-inguripan).
Baik
dalam rupa, wujud, warna dan sosoknya (balegere dumadi), manusia dapat
dikatakan sempurna tiada yang melebihi (kasampurnaning manungsa).
Terciptanya manusia yang ditakdirkan (pinesthi) menjadi Wali Allah,
menandakan bahwa hanya sosok manusia sajalah yang mampu menjadi Warangka
Dalem Yang Maha Esa (wakil Tuhan di dunia). Kelahiran manusia dalam
wujud raga-fisik dan bentuk badan itu merupakan sari-patining bawana.
Maka, menjadi keniscayaan jika manusia mampu menggunakan dayanya guna
mengungkap rahasia alam.
Kelahiran
hidup manusia, merupakan wujud dari sukma, yang dalam proses mengada
dan menjadi (being and becoming) terbentuk dari sari-pati terpancarnya
Dzat Allah (dumadi saka sari-pati pletheking Dzat Allah). Oleh sebab
itu, manusia mampu mengkaji dan menelusuri, menggali dan
mencari serta meyakini dan mengimani adanya Allah (nguladi, ngupadi,
ngyakini lan ngimani marang kasunyataning Allah), sebab sukma sejati
manusia itu berasal dari Sana (sabab suksma sajatining manungsa asale
saka Kana). Selanjutnya Pa-dha-ja-ya-nya, maknanya bahwa sawenehing kang
dumadi atau apa pun dan siapa pun tidak akan dapat hidup sendiri, sebab
ia akan senantiasa menjalani hidup dan kehidupan bersama, sebagaimana
keniscayaan
fitrahnya, bahwa: panguripaning dumadi tansah wor-ingaworan -dalam kehidupan manusia selalu saling pengaruh mempengaruhi— selain juga punya ketergantungan satu sama lain. Begitu juga hidup manusia, bahwa perangkat badaning manungsa tidak mungkin secara parsial dapat hidup sendiri-sendiri. Artinya, ana raga tanpa sukma/nyawa tidak mungkin bisa hidup, tetapi ana sukma tanpa raga juga tidak bisa dikatakan hidup, karena tidak bisa bernafas.
fitrahnya, bahwa: panguripaning dumadi tansah wor-ingaworan -dalam kehidupan manusia selalu saling pengaruh mempengaruhi— selain juga punya ketergantungan satu sama lain. Begitu juga hidup manusia, bahwa perangkat badaning manungsa tidak mungkin secara parsial dapat hidup sendiri-sendiri. Artinya, ana raga tanpa sukma/nyawa tidak mungkin bisa hidup, tetapi ana sukma tanpa raga juga tidak bisa dikatakan hidup, karena tidak bisa bernafas.
Jika
seluruh anggota badan makarti semua, baru disebut urip kang sejati.
Daya hidup (sang gesang) akan melekat (built-in) pada setiap
diri-pribadi seseorang, yaitu rupa, wujud berikut segala
tingkah-lakunya. Dapat dikatakan daya hidup akan luluh pada dirinya
(sing kadunungan). Semua yang berwujud dan hidup pasti bakal tarik-
enarik, saling bersinergi (daya-dinayan), sehingga menimbulkan
daya-daya, seperti: daya
adem-panas, positif-negatif, luhur-asor, padhang-peteng, dan kesemuanya itu senantiasa berputar silih berganti (cakra manggilingan).
adem-panas, positif-negatif, luhur-asor, padhang-peteng, dan kesemuanya itu senantiasa berputar silih berganti (cakra manggilingan).
Semua
inti dari interaksi tersebut ada pada diri manusia, di mana inti tadi
sebenarnya telah terserap dari badan manusia sendiri. Maka dapat
disimpulkan, bahwa obah-mosiking jagat/alam, juga terjadi pada
obah-mosiking manungsa secara pribadi. Di mana ketika terjadi
gonjang-ganjinging jagat/ alam, kejadian pada manusia juga demikian
adanya. Ketika manusia bertingkah-laku angkara-murka, merusak dan
sebagainya, jagat/alam juga berada dalam ancaman bahaya, misalnya
musibah banjir, lahar, tanah longsor, banyaknya kecelakaan dan
sebagainya.
Makanya,
manusia harus selalu ingat akan kewajiban pokoknya, yaitu:
Hamemayu-Hayuning Bawana. Artinya, kanthi adhedhasar sarana sastra
jendra hayuningrat pangruwating diyu sebetulnya manusia dapat nyidhem
atau menghindari kerusakan alam semesta, selain juga bisa nyirep
dahuruning praja (memadamkan kerusuhan negara).
Ikatan manusia dengan Allah Swt., berupa keyakinan dan kepercayaan yang diwujudkan
dalam panembah lan pangesti seperti ditulis dalam tuntunan kalam, yang
disebut agama, mewajibkan manusia manembah (sembahyang, samadi) hanya
tertuju kepada Yang Satu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Ketika manusia
manembah melalui sembah rasa, harus dengan seluruh sukma (roh, moral)
kita, bukan badan raga yang penuh dengan kotoran (nafsu duniawi).
Sebetulnya sembah raga itu hanya sarengating lahir, agar supaya umat
manusia taat dan manembah marang Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Manusia
itu paling dipercaya ngembani asmaning Allah, maka manusia harus
menduduki rasa kemanusiaannya. Untuk itu, manusia harus bisa menempatkan
diri pada citra keTuhanannya. Allah telah menciptakan apa saja untuk
manusia, jagat sak isine, tinggal bagaimana manusia bekti marang Allah
Kang Maha Esa. Tergantung manusianya, seberapa besar tanggung jawabnya
marang Kang Maha Kuasa, sebab bawana beserta seluruh isinya adalah
menjadi tanggung jawab manusia.
Yang
terakhir, Ma-ga-ba-tha-nga dapat dijelaskan maknanya, kurang-lebih
sebagai berikut. Manungsa kang kalenggahan wahyuning Allah, manungsa
kang manekung ing Allah Kang Maha Esa dadi daya cahyaning Allah lan
rasaning Allah luluh pada sukma manusia. Jagat (alam) tergantung pada
sejarah umat manusia yang disebut awal dan akhir, juga menjadikannya
jantraning manungsa. Hakikatnya gelaring alam/jagat itu, juga gelaring
manungsa. Jadi di dunia ini ora bakal ana lelakon, ora ana samubarang
kalir, kalau tidak ada gerak kridhaning manungsa.
Setelah
ada manusia, sakabehing wewadi, sakabehing kang siningit lan sinengker
wus kabukak wadine –semua telah jelas, semua telah menjadi nyata.
Wis ora dadi wadi, amerga wis tinarbuka;
Wis ora ana wingit, amerga wis kawiyak;
Wis ora ana angker, amerga wis kawuryan.
Wis ora ana wingit, amerga wis kawiyak;
Wis ora ana angker, amerga wis kawuryan.
Artinya,
kalau semua sudah kamanungsan/konangan —kalau semua telah menjadi
kenyataan— berarti tugas kewajiban manusia di dunia telah selesai. Sudah
sampai pada perjanjian pribadining manungsa dan sudah titi mangsa harus
pulang marang pangayuning Pangeran. Dari tidak ada menjadi ada (ora ana
dadi ana) menjadi tidak ada lagi (ora ana maneh). Artinya, sakabehing
dumadi yen wis tumekaning wates kodrate, mesti bakal mulih marang
mula-mulanira lan sirna. Awal-akhire, artinya sangkan paraning dumadi
wis khatam/tamat. Kalau umat manusia sudah tidak ada lagi -kang dadi
asmaning Allah-juga tidak akan disebut (kaweca), ana.
Demikianlah,
kurang lebih hasil perenungan saya selama ini dalam menggali makna
filosofis yang terkandung dalam ajaran Aji Saka: “Ha-na-ca-ra-ka”.
Betapa pun kita mengagungkan ke-adiluhung-an karya sastra Jawa, seperti
Serat Wulangreh, Serat Wedhatama, atau pun filsafat Ha-na-ca-ra-ka,
apabila tanpa penghayatan dan meresapi nilai-nilai substansial yang
terkandung di dalamnya serta usaha mengembangkannya, tentulah tidak akan
bermakna bagi kehidupan sastra Jawa masa kini dan masa depan, apalagi
terhadap budaya Indonesia Baru yang harus kita bangun.
Sastra
Jawa mengandung wulang-wuruk kejawen, yang jika dilakukan penelitian
lebih suntuk akan bisa digali ajaran kehidupan yang mampu memberi
pencerahan pikir dan rasa untuk direnungkan di malam hari. Kesemuanya
itu seakan meneguhkan makna peninggalan Aji Saka yang diungkapkan Sri
Susuhunan Paku Buwono IX dalam tembang Kinanthi: “… Nora kurang
wulang-wuruk, tumrape wong tanah Jawi. Laku-lakuning ngagesang, lamun
gelem anglakoni. Tegese aksara Jawa iku guru kang sejati”.sumber:blog panuntun urip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar