REINKARNASI.
Kata Reinkarnasi, adalah kata yang sangat sakral dan penting dalam kehidupan manusia, tanpa reinkarnasi, maka seorang manusia tidak akan mencapai nilai sebagaimana yang dimintakan oleh Allâh SWT, agar dengannya ia dapat kembali kepada Tuhannya, pengertian mana, ia harus dapat mengenal Tuhannya sebagaimana ia mengenal dirinya sendiri.
Untuk memahami kata “Reinkarnasi”, terlebih dahulu kita harus membaginya dalam empat sub kata ;
RE, dalam bahasa Inggris, artinya kembali atau pengulangan,
IN, juga dalam bahasa Inggris, artinya “masuk atau kedalam”,
KAR (peta/map), adalah bentuk.
NASI, dalam bahasa Arab, artinya manusia, sehingga kata RE – IN - KAR – NASI, memiliki arti : KEMBALI KEDALAM BENTUK MANUSIA.
Kata Reinkarnasi, bukan berarti kembalinya suatu makhluk kedalam bentuk makhluk yang lain (dari manusia menjadi hewan), tapi semata-mata kembalinya bentuk suatu makhluk dari martabat yang rendah menjadi bentuk manusia (martabat yang mulia). Atau dari manusia kepada manusia lagi, karena rupa/bentuk manusia, telah menjadi tujuan utama pencapaian dari seluruh makhluk-Nya di alam semesta ini.
Kandungan utama dari maksud dan tujuan kedatangan semua kitab suci ke dunia ini, hanya semata untuk mencapai Reinkarnasi. Tuhan ingin di kenal secara nalar dan bijak, dan hal ini bisa dan hanya terjadi di dalam diri seorang manusia yang telah mencapai pencerahan utama. Jangankan hewan atau makhluk selain manusia, dianggap dapat memahami ketuhanan, walaupun seorang manusia, sepanjang belum mencapai pencerahan, tidak akan dapat mengenal Tuhannya. Kendati Ulama, Kiyai, Pendeta, Pastor bahkan sebagian ulama sufi maupun sebagian syaikh tarikat yang telah disapa dengan panggilan Mursyidpun, tidak dengan mudah dapat menerima konsep Reinkarnasi yang saya jelaskan ini, padahal mereka telah di pandang baik agamanya oleh sebagian golongan dalam dakwah mereka. Ternyata kebanyakan mereka hanya berbicara dari sisi umumnya agama yaitu pahala serta dosa. Mereka berbicara hanya sebatas retorika dan teori tanpa bukti yang nyata, kecuali para Guru Mursyid yang telah sempurna ilmu dan keilmuannya, mereka dapat berbicara bahkan mempratekkan ilmu Reinkarnasi tersebut dengan baik dan tepat.
Jika seorang dalam agama Islam, telah dapat menerima pemahaman konsep Reinkarnasi, berarti ia telah terserap masuk kedalam jalan menuju kesempurnaan, dan keadaan ini merupakan ketertarikan yang luar biasa. Berbeda halnya dengan seseorang yang beragama Hindu atau Budha atau golongan agama lain yang menerima pemahaman konsep Reinkarnasi, mereka sejak kecil telah menjadikan hal tersebut sebagai suatu kewajiban dalam pemahaman keberagamaannya, sebagaimana juga seorang yang beragama Islam, dalam pemahaman dan mengucapkan dua kalimat syahadat, adalah hal yang lumrah, lain halnya dengan seseorang yang bukan beragama Islam, jika ia memahami tentang dua kalimat syahadat dan rela mengucapkannya dengan kesadaran yang hakiki, itu berarti suatu keluarbiasaan dalam kehidupannya. Begitulah seorang yang beragama Islam, jika ia dapat memandang konsep Reinkarnasi dengan akal yang fitrah.
Golongan agama Islam (baca; Cendikiawan), melihat agama Islam dan Al-Qur’an secara keseluruhan tidak mengandung konsep Reinkarnasi, bahkan kata mereka; Al-Qur’an menolaknya. Andaikan Al-Qur’an itu dibaca serta dikaji dengan bahasa yang manusiawi dan bijak (bijaksana dan bijaksini), dan tidak semata bahasa hukum sebagaimana yang telah diterapkan selama ini, maka akan didapati, bahwa kandungan Al-Qur’an telah menerangkan konsep tentang Reinkarnasi 99%. Konsep tersebut sangat berbeda dengan konsep Reinkarnasi yang ada pada agama lain. Teori agama mereka adalah, seseorang akan terus berinkarnasi (terlahir kembali menjadi manusia) untuk menerima berbagai pembalasan atas amal baik buruknya (karma) yang telah ia lakukan pada kehidupan sebelumnya, dan keadaan reinkarnasi itu dipandang sebagai suatu dosa yang belum terlunasi.
Pada Al-Qur’an, serta pandangan para Guru Mursyid yang telah sempurna ilmu dan keilmuannya, konsep Reinkarnasi adalah menjadi tujuan utama dalam kehidupan seorang manusia, disamping manusia itu menerima karmanya atau pembalasan atas perbuatan baik buruknya di dalam kehidupan sebagai manusia sekarang ini, yang perbuatan mana telah ia lakukan dalam kehidupan sebelumnya, ia harus dapat mencapai bentuk kesadaran yang lebih tinggi, sehingga dirinya akan mengenal dirinya sendiri dalam kapasitas keilahian yang sempurna. Dimana setiap diri manusia memiliki kesempurnaan yang hakiki, serta memiliki seluruh perangkat lunak (software) yang sanggup untuk melakukan apa saja. Walau demkian, seorang manusia belum dapat melakukan tindakan apapun untuk mencapai nilai kesempurnaan, kecuali terlebih dahulu ia harus memahami susunan anggota tubuhnya secara keseluruhan, sebagai perangkat kerasnya (hardware), karena dengan perkakas yang memadai saja, maka programnya dapat dioperasionalkan dengan sempurna, disamping perlunya seorang operator yang handal (pikiran dan akal yang fithrah), barulah komputer kemanusiaan ini dapat mencapai pekerjaan yang maksimal.
Jangan engkau mencari sesuatu diluar tubuhmu sepanjang berkaitan dengan keilahian, biarkan orang lain yang tidak memahami mencarinya dimana-mana, tapi bagimu yang memahami, carilah IA di dalam dirimu saja. Karena hanya orang-orang yang bijak dalam pemahaman konsep Reinkarnasi sajalah yang dapat memikirkan hal ini.
Kata Allâh : Tiada yang dapat memikirannya, kecuali Ulil albab. Yang dimaksud dengan kata “Ulil albâb”, adalah para Guru Mursyid yang telah sempurna ilmu dan keilmuannya, karena mereka dapat memikirkan Tuhan melalui diri mereka sendiri, dan menemukan-Nya dengan sempurna di dalam, sementara kebanyakan manusia sedang pergi dari diri mereka sendiri menuju kekosongan pendapatan, karena mereka sedang melihat Tuhan berada sangat jauh dari diri mereka, hal inilah yang membuat mereka tersesat dalam berpendapat dan pendirian.
Islam dan Reinklarnasi, adalah satu maksud dalam dua kata. Islam, berarti “Selamat”, atau “Keselamatan”, atau “Kenyamanan” atau “Kedamaian”. Reinkarnasi, adalah “kata kerja” dari Islam itu sendiri. Karena tiada keselamatan dapat dicapai tanpa kembali menjadi seorang manusia, sebab dari diri seorang manusia itulah dimulainya pencapaian jalan keselamatan.
Sorga dan Naraka, maupun Akhirat, masih dilihat sebagai sesuatu yang belum ada, lebih di karenakan sudut pandang ilmu dan keilmuannya yang tidak berada pada tempat yang benar. Jika dapat menempatkan sesuatu yang hakiki pada tempat yang hakiki, dan yang tidak hakiki pada tempat yang tidak hakiki, maka akan menemukan kebenaran sejati yang maujud dalam keadaan nyata (terang benderang).
Kebanyakan orang telah menempatkan sesuatu pada tempat yang bukan tempatnya, kemudian ia pandang sebagai kebenaran yang hakiki. Bahkan saat sang bijak menyampaikan kebenaran, ia akan dicaci sebagai orang yang sesat dan menyesatkan.
Allâh mengatakan : Mereka menginginkan kebenaran. Saat engkau (Muhammad) membawa kebenaran kepada mereka, mereka menolak kebenaran tersebut.
Mengapa demikian, disebabkan karena mereka telah menempatkan yang tidak hakiki (tidak sejati) pada tempat yang hakiki dan sejati. Inilah ciri kebanyakan manusia sekarang dari seluruh golongan agama manupun juga, kecuai mereka yang telah tercerahkan oleh keilmuan para Guru yang Mursyid.
Hindu dan Budha atau agama lain yang juga menerapkan konsep Reinkarnasi, belum tentu mendapat keselamatan dalam perjalanan kehidupannya sebagaimana teori dimaksud, sepanjang Reinkarnasi itu dipandang sebagai suatu bentuk kerendahan dari suatu kelahiran atau pencapaian, kemudian mereka berusaha sedemikian rupa untuk tidak ber-inkarnasi (tidak terlahir kembali).
Andaikata tidak harus terlahir lagi sebagai anak manusia, lalu kemanakah kita harus pergi setelah kematian? apakah kedalam ketidaktahuan pendapat, atau kesuatu tempat yang tidak tersebut dan tidak dikenal sama sekali ? ini adalah faham dan pemahaman yang salah dalam konsep Reinkarnasi.
Tuhan itu hanya dapat di kenal lewat manusia, Tuhan itu hanya dapat berkarya dan di ketahui karyanya hanya oleh manusia, segala tindak tanduk Tuhan hanya datang melalui manusia, sehingga jika sebagai seorang manusia, kemudian bercita-cita mencari ilmu dan keilmuan agar tidak terlahir kembali sebagai seorang manusia, maka sesungguhnya ia telah berbuat kejahatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus telah memotong jalur manifestasi Tuhan untuk dirinya sendiri maupun manusia sekalian.
Semua kitab suci telah mengisyaratkan maksud yang sama seperti yang tertulis pada Al-Qur’annya orang Islam, bahwa :
"Kami (Tuhan) dekat kepada manusia, lebih dekat daripada urat lehenya sendiri".
"Ingatlah Tuhanmu itu di dalam dirimu sendiri".
"Dia (Tuhan) bersama kamu di mana saja kamu berada".
Ini semua memberi artian bahwa ; Dia (Tuhan) itu ada pada diri manusia, seluruh pengejawantahan-Nya hanya dapat dilakukan melalui diri manusia. Kalaulah seseorang mati dan tidak kembali lagi menjadi manusia, maka dimanakah ia akan berjumpa dengan Tuhan itu ?
Tuhan sendiri mengatakan bahwa ; Semua tindakan-Nya ada pada manusia. Itu berarti Sorga, Naraka, Akhirat maupun apa saja harus dapat di mengerti, di pahami dan di ketahui dan di buktikan hanya dengan melalui diri manusia semata, dan jika tidak melalui diri seorang manusia, maka jangan ada yang bermimpi untuk berjumpa dengan Tuhannya, kecuali dengan Tuhan yang dia ciptakan sendiri dalam kebodohan hayalannya.
Reinkarnasi dalam Islam, lebih dipahami oleh kalangan yang mempelajari Islam secara Hakikat dan Ma’rifatullâh dengan jalur yang sempurna. Reinkarnasi tidak hanya dipahami sebagai suatu kejadian sederhana dari kelahiran seorang anak manusia, yang di dalam jiwanya adalah seseorang yang tadinya telah hidup sebelumnya.
Contoh di daerah Indonesia bagian Timur (baca; Maluku) : Ada seorang anak kecil yang di panggil dengan panggilan “tete” (Kakek), karena keluarga dari anak tersebut meyakini bahwa, anak mereka itu adalah Reinkarnasi atau titisan dari kakek mereka, karena anak tersebut lahir dengan ciri-ciri yang sama dengan kakek mereka. Hal semacam ini belum termasuk dalam pandangan konsep Reinkarnasi yang dipahami dan diajarkan oleh para Guru Mursyid yang sempurna, kecuali seorang anak itu telah dengan sengaja dilahirkan atas nama seseorang yang dimaksud, dengan membawa berbagai tanda-tanda kelahiran yang sesuai dengan tanda-tanda yang ada pada orang yang akan direinkarnasikan, dan sebelum kelahirannya, telah di kabarkan lebih dahulu tentang tanda-tanda tersebut oleh ahli yang me-reinkarnasi-kan orang yang dimaksud itu. Ini disebut bentuk Reinkarnasi tingkat I.
Reinkarnasi tingkat II, adalah seseorang yang mengetahui hari kematiannya, dan kemudian ia berpesan kepada sanak keluarganya bahwa ;
“Bapak akan pergi jauh (wafat), kalian tidak perlu bersedih dan berduka cita, nanti setelah kematian bapak, bapak akan datang kembali kedunia ini dan berjumpa dengan kalian, yaitu dengan cara lahir kembali sebagai anak si fulan, perhatikan saja tanda-tanda yang akan bapak tentukan sesaat menjelang kematian bapak”.
Maka setelah kematian bapaknya, dan suatu saat setelah kelahiran anak yang dimaksud pada orang yang di tunjuk sebelumnya, maka akan didapati oleh mereka tanda-tanda yang tepat sebagaimana yang ditandakan oleh bapaknya yang mati itu. Ini disebut ahli mereinkarnasikan dirinya sendiri.
Jika kita tidak memiliki ilmu dan keilmuan Reinkarnasi, maka kita harus menjadi seseorang yang sangat dekat dengan para ahli Reinkarnasi (Guru yang Mursyid), karena bila seseorang setelah wafat, dan tidak dapat terlahir kembali sebagai manusia, maka itu pertanda dia tidak selamat sampai ke akhirat. Tentunya ia akan menjadi suatu makhluk yang lebih rendah dari manusia !
Kata Allâh : Kami (Allah) ciptakan manusia dalam rupa yang sangat sempurna, kemudian Kami (Tuhan) rendahkan dia serendah-rendahnya.
Analogi :
Semestinya orang yang pergi merantau jauh kenegeri asing, harus telah menyediakan pembiayaan/persiapan untuk dapat kembali ke kampung halaman yang damai. Hal tersebut harus dilakukan sebagai orang yang bijaksana, dan juga sebagai antisipasi jika negeri perantauannya tidak sesuai dengan apa yang di harapkan sebagaimana yang di dengar selagi di kampung halamannya.
Andaikan seorang tua yang pergi merantau keluar negeri, ternyata keadaan di sana sangat asing baginya, bahkan menyulitkannya, kemudian dia ingin kembali ke tanah kelahirannya yang damai sentosa, yang selama ini dia hidup beranak pinak. Kalaulah orang tua tersebut sebelum perantauannya telah mempersiapkan tiket untuk kembali, maka pasti dengan mudahnya dia bisa kembali ketanah tumpah darahnya, tanpa harus menanti kiriman tiket dari anaknya yang selama ini tidak peduli denganya. Tapi ternyata sebaliknya, ia mengalami berbagai penderitaan dinegeri perantauannya. Ini gambaran orang tua yang tidak memiliki ilmu keselamatan (Ilmu Reinkarnasi) serta anak turunan yang juga tidak berilmu keselamatan , yang akhirnya menjadi anak durhaka, karena membiarkan orang tuanya dalam hukuman Allâh.
Islam telah menggariskan, bahwa setelah kematian seorang manusia, seluruh amalan kebaikannya terputus, kecuali 3 (tiga) perkara. :
Amal Jâriyah,
Ilmu yang berguna,
Anak yang shaleh, untuk mendoakan kedua orang tuanya.
Amal Jâriyah, secara mendasar dan harfiah, berarti Perbuatan yang berjalan, yaitu perbuatan dari seseorang yang telah mati/wafat, yang perbuatan mana dapat berjalan. Tidak lain dan tidak bukan adalah seorang anak manusia. Kata ini telah diartikan oleh para ulama umum sebagai suatu perbuatan baik dan berguna bagi manusia lain setelah kematian si pembuat amal itu. Misalnya membangun Masjid, jembatan, sumur dan lainnya, kemudian pahalanya akan mengalir terus kepada si pengamal itu.Dalam pengertian khusus, ‘Amal Jâriyah bukanlah perbuatan seperti membangun masjid, jembatan, sumur, dan lainnya, walaupun semua itu adalah kebaikan dan dibutuhkan oleh manusia, namun yang dimaksud sesungguhnya dengan kata “Amal Jariyah” itu sendiri, adalah perbuatan yang berjalan dari seorang bapak/ibu yang telah wafat, yaitu “anak”. Dimana anak itu sebagai suatu perbuatan orangtuanya yang ditinggalkan setelah kematiannya, dan yang sekarang “berjalan kesana kemari”.
Ilmu yang berguna, adalah ilmu yang diperuntukkan bagi anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya, yaitu “ilmu tentang kelahiran dan kematian”, karena inilah ilmu yang berguna atas anak tersebut, karena ilmu tersebut akan menjadi jalan yang lurus bagi kelahiran kembali orang tuanya yang telah wafat .Hadits Nabi : Tuntutlah ilmu dari buaian sampai keliang lahat. Hal ini bukannya Nabi menyuruh anak yang baru lahir dan mayat yang tidak berdaya di liang lahat untuk menuntut ilmu, tapi maksud hadits tersebut adalah “Tuntutlah ilmu kelahiran dan ilmu kematian”, (Ilmu reinkarnasi). Para ulama umum, telah mengartikannya lain sama sekali dari penjelasan yang seharusnya.
Waladun shaleh (anak yang shaleh), untuk mendoakan kedua orang tuanya, maksudnya bukan seperti yang selama ini telah diartikan oleh kebanyakan pembicara dimimbar-mimbar, melainkan gabungan dari poin 1 dan 2. Maksud yang sebenarnya dari ketiga perkara ini, semata-mata adalah “Seorang anak manusia”, karena hanya dengan “anak” maka seseorang dapat melanjutkan cita-cita dengan sempurna, lantaran anak adalah satu-satunya jalan kembali untuk mengambil hakmu pada Allâh SWT (Tuhan semesta alam).
Injil Markus :
Barang siapa tidak menghormati anak, maka dia tidak di hormati oleh bapak yang di Sorga.
Pada surat yang lainnya :
Barang siapa memuliakan anak, maka ia akan dimuliakan oleh bapak yang di Sorga, karena anak tela di tinggikan.
Walaupun sudah sangat jelas apa yang disinggung pada Injil Perjanjian baru diatas, tetap saja orang-orang Kristenpun tidak mengenal Jalan Keselamatan yang unggul ini.
Anak, adalah “amal jâriyah” itu, ilmu yang berguna, adalah untuk “anak” itu, sehingga ia menjadi yang ke waladun shaleh ; (Waladun, berarti Seorang anak laki-laki. Shaleh, berarti Hubungan, Terhubung dan Menghubungkan).
Begitu spesifik penjelasan tentang keilmuan tersebut, yaitu keilmuan Renkanasi yang sempurna. Keilmuan Reinkarnasi dikenal oleh para pakar Islam dengan istilah “Ilmu Martabat Tiga”, yaitu
Ilmu Takbiratul Ihram (Ilmu Shalat),
Ilmu Nisâi (Ilmu Perkawinan/ membuat anak) dan
Ilmu Sakratul Maut (Ilmu menghadapi kematian).
Masing-masing keilmuan tersebut memiliki 13 (tiga belas) martabat yang sangat mengagumkan akal, pikiran dan pendapatan. Maka dengan memiliki ilmu tentang 3 (tiga) perkara di atas oleh seseorang yang akan wafat, berarti dia telah meletakkan kembali jalan keselamatan untuk kembali menjadi manusia.
Sebagaimana analogi diatas, andaikan sang perantau meninggalkan harta yang banyak kepada anak yang baik hati, maka saat orang tuanya sedang di tempat perantauan dan kehabisan uangnya untuk membeli tiket kembali, maka anaknya dapat mengirim tiket kembali kepada orang tuanya untuk kembali ke kampong halaman dan berkumpul kembali bersama keluarga seperti semula.
Hal inilah yang dimaksud dengan ilmu yang berguna kepada anak. Anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya, bukanya seorang anak yang di tinggal mati kedua orang tuanya, kemudian setiap malam bergumam sendirian dalam ucapan-ucapan doa dengan harapan orang tuanya akan selamat, tapi arti dari kata Du’a (Doa) adalah “mendatangkan”. Sehingga arti dari “Anak yang shaleh, yang mendoakan kedua orang tuanya”, adalah “Anak yang membuat hubungan (jembatan) antara alam arwah kealam ajsam (alam jasmani), agar dengan demikian nafs (jiwa) orang tuanya yang telah wafat, dapat di panggil hidup kembali dan terlahir sebagai seorang anak manusia (berinkarnasi)”, karena hanya dengan jalan itu sajalah, maka seorang anak dapat membalas budi baik kepada kedua orang tuanya.
Kenapa demikian ? Seorang anak, sebelumnya tidak tersebut sebagai apapun saat sebelum ia dijadikan dan kemudian terlahir sebagai seorang anak. Sebagai anak yang sekarang hidup tanpa dimintainya itu, harusnya ia bersukur sebanyak-banyaknya, karena perbuatan baik kedua orang tuanya, menyebabkan anak itu ada dan hidup di dunia sekarang ini. Andaikata kebaikan kedua orang tuanya akan di balas dalam bentuk apapun, maka tidak akan ada bandingannya, kecuali seorang anak dengan keilmuan Renkarnasi yang sempurna, melakukan proses untuk melahirkan kembali kedua orang tuanya setelah kematian mereka, maka terbalasi sudah perbuatan yang seimbang sebagaimana saat mereka menghadirkan anak tersebut dari ketiadaan.
Reinkarnasi tingkat III, adalah seseorang yang telah menguasai “Ilmu Martabat Tiga” dengan sempurna, sehingga kehidupan dan kematian, (lahir dan mati) tidak lagi ada perbedaannya. Hidupnya ya… itu matinya, dan matinyapun ya… itu hidupnya, inilah orang yang telah sampai kepada ilmu keluhuran yang sejati, ilmu Reinkarnasi yang maha sempurna (hidupnya telah bersahabat dengan maut), hidupnya berada di dalam maut, dan mautnyapun berada di dalam hidupnya.
Orang yang telah mencapai maqam ini, saat hari kematiannya, akan terjadi hal-hal diantaranya seperti berikut ; Jasadnya mengecil sebagaimana saat ia terlahir dahulu, bahkan kadang keadaannya utuh kembali sebagai seorang bayi beserta plasentanya yang masih terhubung dengan sang bayi. Atau sang mayat itu berubah menjadu nur dan lenyap dihadapan banyak orang, ataupun setelah sampai keliang lahat, sesaat waktu di adzanin, maka mayatnya menjadi nur dan lenyap, dan yang tertinggal hanyalah kain kafan yang putih. Ini maqam kemulian, dalam kalangan para Guru yang Mursyid, maqam ini disebut “Wali Kubur”.
Reinkarnasi tingkat IV, inilah yang disebut “Ilmu Tutup”, karena ia merupakan penutupnya “Ilmu Martabat Tiga”. Para Guru yang Mursyid yang telah mendapatkan anugrah ilmu tersebut dari sirullâh yang tersembunyi di kedalam dirinya sendiri, mereka sangat awas terhadap segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan dan kematian, mereka seakan memiliki sumber informasi yang tidak di ragukan lagi, mereka menguasai wilayah kelahiran dan maut dengan cekatan, mereka dapat masuk dan keluar di wilayah itu dengan sesuka hati. Saat kematian mereka, biasanya terjadi berbagai gejala alam secara umum maupun bersifat khusus, serta ciri yang di ketahui tertuju kepada mereka, bahkan mereka telah mengatakan sebelumnya tentang segala ciri-ciri yang akan datang saat kematian mereka. Kemudian merekapun wafat dalam pandangan mata manusia umum, di mandikan, di kafankan, di sembahyangkan, dan di kuburkan. Sesudah dari itu, sekembali orang-orang dari kubur kerumah ahli mayat tadi, mereka akan menjumpai yang wafat tadi sedang hidup dan duduk dengan santai di rumahnya. Kehidupan keduanya ini bisa berlangsung cepat ataupun tahunan, bahkan sampai puluhan tahun kedepan. Saat mereka akan wafat lagi, mereka akan berpesan kepada keluarganya untuk pindah kampung yang lain, hal ini mereka lakukan untuk menghindari fitnah dari masyarakat. Ternyata setelah kematiannya lagi, di kampung yang baru, keluarganya akan menemukannya hidup tanpa ada perubahan sedikitpun, dan hal ini akan berlangsung selamanya (hayyun fid darain), yaitu hidup di dua negeri.
Hadits Nabi : Wali-wali Allâh itu tidak akan mati, mereka hanya berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain.
Pada Al Qur’an, surat Yunus :
Ingatlah ! sesungguhnya wali-wali Allâh itu tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pernah mereka berduka cita (tidak mati).
Mari kita mencapai keilmuan Reinkarnasi yang sempurna, agar kemanusiaan tetap berlanjut, dengannya kita akan di lihat sebagai seseorang yang peduli atas tujuan Tuhan menjadikan kita dimuka bumi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar