DZUN NUN AL MISHRI
Nama Dzun Nun mempunyai makna tersendiri, yaitu arti dari namanya adalah ”seseorang yang mempunyai huruf Nun dari mesir”. Huruf Nun ini mempunyai makna tersendiri, sebuah simbol spiritual power. Huruf Nun dimaknai sebagai relasi antara Tuhan dan hambanya, dimana huruf Nun ini mempunyai sebuah titik ditengah dan garis yang melingkarinya. Simbol tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik tujuan sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan.
Kaum sufi juga memaknai simbol ini sebagai simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Dzun Nun Al Mishri, dia mengetahui dan sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya apalagi sebagai nama dari dirinya sendiri. Yang kemudian makna dari namanya itu membawayanya serta mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada huruf Nun tersebut, dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah SWT. Yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Huwa al-Awwalu waal-Aakhiru waal-Dhaahiru wal-Baathinu wa-Huwa Bikulli Syay-in ‘Aliimun”
Artinya : Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadiid : 3 ).
Jadi bisa kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya dengan huruf Nun yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari kehidupan, dan titik sentral tersebut adalah sesuatu yang awal dan yang akhir.
Sang Wali yang Haus Hikmah
Nama lengkap Dzun Nun Al Mishri adalah Abu Al-Faid Tsauban bin Ibrahim, Ia dilahirkan di Ikhmin, dataran tinggi Mesir, Pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat pada tahun 246 H/856 M dan makam kan dekat makam Amr bin Ash dan Uqbah bin Al Harun. Ia adalah seorang sufi besar dari Mesir, Seorang ahli kimia dan fisika dan dia juga seorang sufi yang pertama kali menganalisis ma’rifah secara konsepsional. Sufi agung yang memberikan kontribusi besar terhadap dunia pemahaman dan pengamalan hidup dan kehidupan secara mendalam antara makhluk dengan sang pencipta, makhluk dan sesama ini mempunyai nama lengkap al-Imam al-A’rif al-Sufy al-Wasil Abu al-Faidl Tsauban bin Ibrahim, dan terkenal dengan Dzunnun al-Misry. Kendati demikian besar nama yang disandangnya namun tidak ada catatan sejarah tentang kapan kelahirannya.
Perjalanan Menuju Mesir
Waliyullah yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan ma’rifatulah yang hakiki.
Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak diiringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya: “ada apa ini?”. Orang tersebut menjawab : Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik “. Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang dirundung duka. “Fenomena apa lagi ini ?” begitu pikir sang wali. Iapun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab : “Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meningal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga “. Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu : “Ya Allah aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar “. Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).
Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya. Kadang berliku penuh ombak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri. Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.
Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya “Wahai Abu al-Faidl !” begitu ia memanggil demi menghormatinya “Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT ? “. “Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu”. Begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran “Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku” lalu Dzunnun berkata : “Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad : “Cukup… aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku”.
Dzun Nun adalah seorang Mesir yang menjelajah luas untuk belajar sufisme dan dihukum karena ajarannya tentang sufisme. Dia dianggap sebagai salah satu “Wali yang Tersembunyi” dan Wali Qutb oleh para sufi sezamannya. Dia memiliki wawasan yang luas tentang misteri-misteri Ilahi dan doktrin Kesatuan. Beliau adalah guru sufi besar di zamannya. Berikut pembicaraan beliau tentang hakikat :
Pada perjalanan pertamaku, aku temukan sejenis ilmu yang dapat diterima baik oleh kaum pilihan maupun kaum awam. Saat perjalanan kedua, kuperoleh ilmu yang dapat diterima oleh kaum pilihan dan bukan untuk kaum awam. Pada perjalanan ketiga, ilmu yang tidak dapat diterima, baik oleh kaum pilihan maupun kaum awam, dan aku masih saja terdampar dan sendirian.
Ilmu pertama adalah pertobatan, yang baik kaum pilihan maupun kaum awam menerimanya. Kedua adalah kepercayaan kepada Allah dan keintiman dengan-Nya, yang hanya diterima oleh kaum pilihan. Dan ketiga adalah hakikat, yang berada di atas jangkauan manusia cerdas dan berakal, sehingga mereka menolaknya.
Ada tiga jenis ilmu, pertama, ilmu tentang Keesaan Tuhan dan ilmu ini dipahami oleh semua kaum beriman. Kedua, ilmu yang didapat dengan pembuktian dan penunjukan, dan ilmu ini milik orang-orang bijak dan mulia serta orang-orang pintar. Dan ketiga, ilmu Sifat-sifat Kesatuan, dan ini milik para wali, mereka yang merenungkan Wajah Tuhan dalam kalbu mereka, sehingga Tuhan menampakkan Diri di hadapan mereka dengan cara di mana Dia tidak terlihat oleh orang-orang lain di dunia ini.
Ciri kearifan falsafah Dzun Nun tercermin dalam ungkapannya: “Aku mengenal Allah dari Allah, dan aku mengetahui apa yang di samping Allah dari Rasulullah.” Dalam sebuah paparannya tentang kaum arif atau sufi sejati, Dzun Nun mengatakan:
Sang arif semakin rendah hati (tawadhu) setiap saat, dan setiap saat dia semakin dekat kepada Tuhannya. Kaum Arifin melihat tanpa pengetahuan, tanpa penglihatan, tanpa penggambaran, tanpa halangan dan tanpa tirai. Mereka bukan diri mereka sendiri, tetapi sepanjang keberadaannya mereka itu berada di dalam Tuhan. Gerak-gerik mereka disebabkan oleh Allah dan kata-kata mereka adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah-lidah mereka, dan penglihatan mereka adalah penglihatan Tuhan, yang telah memasuki mata mereka. Demikianlah, Allah Yang Maha Tinggi berfirman: “Jika Aku mencintai hamba-Ku, maka Akulah telinganya yang dengannya dia mendengar, Akulah mata-Nya yang dengannya dia melihat dan Akulah lidahnya yang dengannya dia berbicara, dan Akulah tangannya yang dengannya dia memegang.”
Ajaran Dzun Nun telah mengilhami banyak Sufi. Bahkan makna nama Dzun Nun sendiri sering menjadi perhatian para sufi generasi kemudian. Nun (huruf yang menjadi pembuka surat al-Qalam: Nun wa al-qalam) juga berarti “ikan.” Dzun Nun adalah orang yang, seperti Nabi Yunus as, “ditelan ikan,” atau masuk ke dalam kefanaan, dan setelah melewati pengalaman di dalam ikan itu dia merasakan bagai huruf nun: “Kemudian aku menjadi lengkung laksana huruf nun, hingga aku menjelma Dzun Nun sejati” demikian kata sufi-penyair Maulana Rumi dalah salah satu Diwannya. Dzun Nun wafat pada 245 H. dalam salah satu riwayat sebagaimana dituturkan al-Hujwiri, di malam kematiannya ada 70 orang bermimpi bertemu Rasulullah. Rasul berkata, “Aku datang menemui wali Allah, Dzun Nun.” Dan sesudah kematiannya, di keningnya tertera kata-kata: Ini adalah kekasih Allah, yang mati dalam mencintai Allah, dibunuh oleh Allah. Setiap kali orang menghapus tulisan tersebut, tulisan itu selalu muncul lagi. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa saat jenazahnya diusung, muncul sekawanan burung berwarna hijau memayungi iringan jenazah Dzun Nun. Setelah melihat kejadian-kejadian aneh ini, orang-orang Mesir menyesali sikap mereka yang zalim terhadap Dzun Nun.
Dzun Nun mempunyai banyak pengikut yang kelak terkenal sebagai sufi besar. Ada dua muridnya yang sangat terkenal. Pertama adalah Yusuf ibn al-Husain (w. 304/916) dari Rayy, Persia, seorang sufi yang terkenal dengan keikhlasannya dan sering mengungkapkan pengalaman-pengalaman mistisnya – konon dia berkhotbah selama 50 tahun baik ada pendengarnya maupun tidak. Dan yang kedua adalah Syekh SAHL AL-TUSTARI, salah satu guru Syekh Mansur al-Hallaj.
Perjalanan Ruhaniah
Ketika si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufi pun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama.
Maka demikianlah, Dzunnun al-Misri tidak puas dengan hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa, jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah.
Suatu malam, tatkala Dzunnun bersiap-siap menuju tempat untuk ber-munajat ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang nampaknya baru saja mengarungi samudera kegundahan menuju ke tepi pantai kesesatan. Dalam senyap laki-laki itu berdoa “Ya Allah Engkau mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar dari dosa tapi tetap melakukannya adalah dicerca. Sungguh aku telah meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan rahmatmu. Tuhanku… Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas. Engkaulah Zat yang menjaga dan menyelamatkan hati para auliya’ dari datangnya kebimbangan. Engkaulah yang menentramkan para wali, Engkau berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa”. Dengan khusyu’ Dzunnun menyimak kata demi kata rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya hilang sama sekali di telan gulitanya sang malam namun menyisakan goresan yang mendalam di hati sang wali ini.
Di saat yang lain ia bercerita pernah mendengar seorang ahli hikmah di lereng gunung Muqottom. ” Aku harus menemuinya ” begitu ia bertekad kemudian. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan iapun bisa menemukan kediaman lelaki misterius. Selama 40 hari mereka bersama, merenungi hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan saling tukar pengetahuan. Suatu ketika Dzunnun bertanya : “Apakah keselamatan itu?”. Orang tersebut menjawab “Keselamatan ada dalam ketakwaan dan al-Muroqobah (mengevaluasi diri)”. “Selain itu ?”. pinta Dzunnun seperti kurang puas. “Menyingkirlah dari makhluk dan jangan merasa tentram bersama mereka!”. “Selain itu ?” pinta Dzunnun lagi. “Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus”. Lalu orang tersebut meninggalkan Dzunnun al-Misri dalam kedahagaan yang selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.
Kealiman Dzun Nunal-Misri
Betapa indahnya ketika ilmu berhiaskan tasawuf. Betapa mahalnya ketika tasawuf berlandaskan ilmu. Dan betapa agungnya Dzunnun al-Misri yang dalam dirinya tertata apik kedalaman ilmu dan keindahan tasawuf. Nalar siapa yang mampu membanyah hujjahnya. Hati mana yang mampu berpaling dari untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang Mesir pertama yang berbicara tentang urutan-urutan al-Ahwal dan al-Maqomaat para wali Allah.
Maslamah bin Qasim mengatakan “Dzunnun adalah seorang yang alim, zuhud wara’, mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi Hadits”. Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu’aim dalam Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzunnun telah meriwayatkan hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibn Luha’iah, Fudhail ibn Iyadl, Ibn Uyainah, Muslim al-Khowwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah al-Hasan bin Mus’ab al-Nakha’i, Ahmad bin Sobah al-Fayyumy, al-Tho’i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman al-Sulamy menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzunnun telah meriwayatkan hadis Nabi dari Ibn Umar yang berbunyi ” Dunia adalah penjara orang mu’min dan surga bagi orang kafir”.
Di samping lihai dalam ilmu-ilmu Syara’, sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalah ilmu Ladunni yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja.
Karena demikian tinggi dan luasnya ilmu sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu masalah pada orang di sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang menawan. Seketika itu para ahli ilmu fiqih dan ilmu ‘dhahir’ timbul rasa iri dan dan tidak senang karena Dzunnun telah berani masuk dalam wilayah (ilmu fiqih) mereka. Lebih-lebih ternyata Dzunnun mempunyai kelebihan ilmu Robbany yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya pada Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang Zindiq yang memporak-porandakan syari’at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. “Benarkah engkau ini zahidnya negeri Mesir?”. Tanya khalifah kemudian. “Begitulah mereka mengatakan”. Salah satu pegawai raja menyela : “Amir al-Mu’minin senang mendengarkan perkataan orang yang zuhud, kalau engkau memang zuhud ayo bicaralah”.
Dzunnun menundukkan muka sebentar lalu berkata “Wahai amiirul mukminin…. Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembahnya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula. Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa diisi oleh malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT, Allah akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka. Badan mereka adalah duniawi, tapi hati adalah samawi…….”.
Dzunnun meneruskan mauidzoh-nya sementara air mata Khalifah terus mengalir. Setelah selesai berceramah, hati Khalifah telah terpenuhi oleh rasa hormat yang mendalam terhadap Dzunnun. Dengan wibawa khalifah berkata pada orang-orang datang menghadiri mahkamah ini : “Kalau mereka ini orang-orang Zindiq maka tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini”. Sejak saat itu Khalifah al-Mutawaakil ketika disebutkan padanya orang yang Wara’ maka dia akan menangis dan berkata “Ketika disebut orang yang Wara’ maka marilah kita menyebut Dzunnun”.
Kesabaran Dzun Nun al-Misri
Dzun Nun al-Misri mempunyai seorang anak perempuan yang sangat saleh. Ketika putrinya masih sangat muda, dia bersama bapaknya ke laut dan menjala ikan. Dzun Nun masuk ke air, dan putrinya menunggu di bibir pantai. Setelah beberapa lama menebar jala, tak satupun ikan yang dapat, namun pada akhirnya, dia mendapatkan ikan besar yang tersangkut di jalanya. Ketika Dzun Nun siap memasukkan ikan hasil tangkapannya itu ke dalam wadah ikan, putrinya segera mengambil ikan itu dan melepaskannya kembali ke dalam air laut. Ikan itu berenang menjauh ke tengah laut.
Dzun Nun kaget dan bertanya pada putrinya, “Mengapa engkau membuang ikan hasil tangkapan kita?” “Aku menyaksikan ikan itu tengah menggerakan mulutnya. Aku lihat dia sedang berzikir dan menyebut nama Allah. Aku tidak mau memakan mahluk yang berzikir kepada Allah.” Jawab anaknya.
Putri Dzun Nun memegang tangan Bapaknya seraya berkata, “Bersabarlah, Bapak. Kita seharusnya berserah diri kepada Allah. Sesungguhnya Dia akan memberi rizki kepada kita”.
Mereka berdua kemudian shalat di tepi pantai dan tawakkal kepada Allah. Hingga sore hari. Akhirnya mereka pulang ke rumah. Setelah sholat isya’, tempat makan mereka penuh dengan makanan. Makanan itu dikirim oleh Allah untuk mereka. Setiap hari, selama lebih dari sebelas tahun. Sampai pada suatu hari ketika anaknya meninggal dunia, mendahului bapaknya, saat itu pula, makanan itu sudah tidak ada lagi di tempat makanan. Dia akhirnya sadar bahwa, kesabaran anaknya itu membuahkan kasih sayang Allah padanya. .
Kunci kesabaran di sini adalah berserah pada kuasa Allah, tak ada yang akan kelaparan dan mati di dunia secara sia-sia. Allah akan memberikan rizki pada semua manusia, bahkan dengan tawakkal, sabar dan berserah diri pada Allah, Dia tidak akan membiarkan Hambanya terlantar dan menderita.
Dalam suasana krisis seperti ini, harapan dan usaha perlu diseimbangkan. Sabar tidak membuat manusia malas-malasan dan hanya berserah diri, namun sabar adalah benteng untuk menahan diri menghabiskan isi bumi dengan serakah. Semua harus berusaha dan berupaya agar dapat melanjutkan hidup dan kuat terhadap apa yang terjadi.
Pujian para ulama’ terhadap Dzun-Nun
Tidak ada maksud paparan berikut ini supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih terpuji. Sebab apa yang dia harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika Yang Maha Sempurna sudah memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta manusia dibanding belaian kasih Yang Maha Penyayang ?. Dan hanya dengan harapan semoga semua menjadi hikmah dan manfaat bagi semua paparan berikut ini hadir.
Imam Qusyairy dalam kitab Risalah-nya mengatakan “Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawwuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara’, Haal, dan adab”. Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan “Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan seperti keempat orang ini : Dzunnun al-Misry, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-Basry”. Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama Syaikh Muhiddin ibn Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan “Dzunnun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita”.
Pujian dan penghormatan pada Dzunnun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita : “Sahl al-Tustari (salah satu Imam tasawwuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab “Dulu waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku tidak berani berbicara tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku padaku : berbicaralah!! Engkau telah diberi izin”.
Cinta dan ma’rifat
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang : “Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?”. “Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku “,jawab Dzunnun. “kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku”. Lebih jauh tentang ma’rifat ia memaparkan : “Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya”. “Ma’rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya”.
Tentang cinta ia berkata : “Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah”. “Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya”. “Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)”.
Karomah Dzun Nunal-Misri
Imam al-Nabhani dalam kitabnya “Jami’ al-karamaat “ mengatakan: “Diceritakan dari Ahmad bin Muhammad al-Sulami: “Suatu ketika aku menghadap pada Dzunnun, lalu aku melihat di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan dan minyak Ambar. Lalu beliau berkata padaku “engkau adalah orang yang biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira”. Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh (kota di Iran).
Suatu hari Abu Ja’far ada di samping Dzunnun. Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah. Dzunnun mengatakan “Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali pada tempat asalnya”. Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan kembali ke tempat asalnya.
Imam Abdul Wahhab al-Sya’roni mengatakan: “Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzunnun lalu berkata “Anakku telah dimangsa buaya”. Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzunnun datang ke sungai Nil sambil berkata “Ya Allah… keluarkan buaya itu”. Lalu keluarlah buaya, Dzunnun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata “Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu selalu aku merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT”.
Pemuda Yang Berjalan Diatas Air
Diantara cerita yang diriwayatkan mengenai para kekasih Allah atau wali Allah adalah cerita yang diberitakan oleh Zin-Nun rahimahullah, katanya :
Sekali peristiwa, saya bercadang untuk pergi keseberang laut untuk mencari sustu barang yang saya perlukannya dari sana. Saya pun menempah suatu tempat disebuah kapal. Bila tiba waktu itu aka berangkat , saya lihat penumpang penumpangnya yang menaikki terlalu banyak sekali bilanggannya, yang kebanyakannya dating dari tempat yang jauh , sehingga kapal itu penuh sesak dengan penumpang.
Saya terus mengamati amati wajah wajah penumpang itu, dan saya lihat diantaranya ada seorang pemuda yang sangat kacak rupanya , wajahnya bersinar cahaya, dan dia duduk ditempatnya dalam keadaan tenang sekali,tidk seperti penumpang penumpang lain, terus mundar mandir diatas kapal itu. Udara atas kapal itu agak panas, meski pun angina laut bertiupan, sekali panasnya dating dari sebab terlalu banyak penumpang yang berhimpit hempit diantara satu dengan yang lain.
Pada mulanya kapal itu belayar dengan lancer sekali, kerana baarang kali lautnya tenang tidak bergelombang, dan angit pun tidak bertiup kencang, kecuali sekali sekala saja, dan kalau ada pun hanya ombak ombak kecil biasa dihadapinya.
Dalam keadaan yang begitu tenang diatas kapal itu, tiba tiba kami dikejutkan oleh suatu pemberitahuan umum yang mengatakan bahawa nakhoda kapal itu telah kehilanggan suatu barang sangat berharga, dan hendaklah semua penumpamn penumpang kapal duduk ditempat masing masing, erana sustu pengeledahan akan di jalankan tidak lama lagi untuk mencari barang yang hilang itu.
Kinipenumpang penumpang kapal kecoh berbicara antara satu dengan yang lain mengenai barang yang hilang itu. Masing masing cuba mengeluarkan pendapat bagaimana barang itu boleh hilang. Saya sendiri merasa hairan bagaimana barang nakhada itu boleh hilang ? Apa kah dicuri orang ? atau pun barangkali keciciran kerana manusia diatas kapal itu terlalu banyak .
Sebentar lagi nakhoda kapal mengumumkan:
‘semua penumpang hendaklah berada ditempatnya. Sekarang kami akan memulakan penggeledahan !’
Pengeledahan pun dimulakan oleh beberapa org pegawai kapal itu. Penumpang penumpang itu semuanya ribut , baik lelaki mau pun wanitnya. Mereka digeledah satu satu cukup parinya. Begitu pula tempat tidur mereka dibentangkan dan diraba, kalau kalau barang itu disembunyikan dicelah celahnya. Na,un barang itu masih belum diketemui lagi. Akhirnya sampailah giliran tempat si pemuda tampan untuk digeledah. Pada mulanya pemuda itu duduk ditempatnya dengan tenang sekali . tetapi oleh kerana dia orang yang terakhir yang diperiksa , maka muka muka orang ramai seolah olah mengancam memerhatikannya. Mungkin ada orang yang mengatakan didalam hatinya, barangkali pemuda inilah yang mencuri barang itu. Apabila pemuda itu dikasari oleh pegawai pegawai kapal itu dalam pemeriksaanya lalu dia melompat ketepiseraya memprotes: ‘ saya bukan pencuri, kenapa saya dilakukan begitu kasar?’ Lantaran pemuda itulah satu satunya orang yang membantah, maka disangka pegawai pegawai kapal itu dial ah pencuri barang itu. Mereka mahu menangkapnya, maka pemuda itu pun meronta lalu menerjunkan diri kemuka laut.orang ramai menyerbu kepinggir kapal hendak melihat pemuda yang terjun kedalam laut itu. Yang menghairankan bahawa pemuda itu tidak tengelam, malah dia duduk dimuka laut itu, sebagaimana dia duduk diatas kerusa dan tidak tengelam. Pemuda itu lalu berkata dengan suara yang keras:
‘Ya Tuhanku ! Mereka sekaian menuduh ku sebagai pencuri ! Demi Zat Mu , wahai Tuan Pembela orang yang terinaya ! Perintahkan lah kiranya semua ikan ikan dilaut ini supaya timbul dan membawa dimulutnya permata permata yang berharga !’
Penumpang penumpang terus merenungkan pandangannya kelaut sekitar kapal itu ingin melihat jika benar ikan ikan itu akan timbul membaw dimulut nya permata permata yang berharga ? saya juga ikut sama memerhatikan permukaan air itu.
Memang benar , dengan kuasa Allah , permintaan pemuda itu dikabulkan Tuhan, timbul disekitar kapal itu beribu ribu ikan dan kelihatan dimulut mulutnya batu batu putih dan merah berkilauan cahayanya , hingga membuat mata mata yang memandangnya silau kerananya. Semua orang disitu bersorak menepuk tangan kepada pemuda itu.
Saya terus tercengang, tidak dapat berkata apa apa pun. Nakhoda kapal dan peawai pegawai kapal itu bingung, seolah olah dia tidak percaya apa yang dilihatnya.
‘Apakah kamu masih menuduh ku mencuri, padahal perbendaharaan Allah ada ditangan ku, jika aku mahu boleh aku ambil ?’ Pemuda itu kemudiannya memerintahkan ikan ikan itu supaya kembali ketempatnya, maka tengelamlah semuanyasemula ikan ikan tadi, dan orang orang diatas kapal it uterus besorak lagi.
Pemuda itu lalu berdiri diatas air itu, kemudian berjalan diatasnya secepat kilat sementara lisannya terus mengucapkan : surah Al-fatihah: 4
‘Hanya kepada Mu lah aku menyembah , dan hanya kepada Mu pula aku meminta bantuan.’’
Dia terus menjauhi kami, sehingga hilang dari pandangan kami. Saya sama sekali tidak menduga , bahawa pemuda ini kemungkinan sekali termasuk kedalam golongan ahli Allah, yang pernah diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya yang berbunyi :
“akan tetap ada dalam umat ku sebanyak tiga puluh orang lelaki, hati hati mereka sepadan dengan hati Nabi Allah Ibrahim a.s. setiap mati seorang di antara mereka, diganti Allah seorang lain ditempatnya.”
Tukang emas lah yang tau harga emas
Seorang pemuda mendatangi Zun-Nun dan bertanya, “Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain.”
Sang sufi hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?”
Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.”
“Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”
Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.”
Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”
Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, “Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas.
Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”
Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar” yang menilai demikian. Namun tidak bagi “pedagang emas”.
“Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses, wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas.”
‘Ingin’
Seorang yang berharap diterima sebagai murid berkata kepada pada Dhu al-Nun, “Saya ingin bergabung dalam Jalan Kebenaran melebihi apapun di dunia ini.”
Dan inilah yang dikatakan Dhu al-Nun kepadanya: “Kau boleh ikut serta dalam kafilah kami jika kau terima dua hal lebih dulu. Yang pertama, kau harus melakukan hal-hal yang tak ingin kau lakukan. Kedua, kau tidak akan diizinkan melakukan hal-hal yang ingin kau lakukan.
Ingin adalah apa yang berdiri di antara manusia dan Jalan Kebenaran.”
Kasih Tuhan Tak Berbatas
Suatu hari, Dzun nun hendak mencuci pakaian di tepi sungai Nil. Tiba-tiba ia melihat seekor kalajengking yang sangat besar. Binatang itu mendekati dirinya dan segera akan menyengatnya.
Dihinggapi rasa cemas, Dzunnun memohon perlindungan kepada Allah swt agar terhindar dari cengkeraman hewan itu. Ketika itu pula, kalajengking itu membelok dan berjalan cepat menyusuri tepian sungai.
Dzunnun pun mengikuti di belakangnya. Tidak lama setelah itu, si kalajengking terus berjalan mendatangi pohon yang rindang dan berdaun banyak. Di bawahnya, berbaring seorang pemuda yang sedang dalam keadaan mabuk. Si kalajengking datang mendekati pemuda itu. Dzunnun merasa khawatir kalau-kalau kalajengking itu akan membunuh pemuda mabuk itu.
Dzunnun semakin terkejut ketika melihat di dekat pemuda itu terdapat seekor ular besar yang hendak menyerang pemuda itu pula. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan Dzunnun. Tiba-tiba kalajengking itu berkelahi melawan ular dan menyengat kepalanya. Ular itu pun tergeletak tak berkutik.
Sesudah itu, kalajengking kembali ke sungai meninggalkan pemuda mabuk di bawah pohon. Dzunnun duduk di sisi pemuda itu dan melantunkan syair, Wahai orang yang sedang terlelap, ketahuilah, Yang Maha Agung selalu menjaga dari setiap kekejian yang menimbulkan kesesatan. Mengapa si pemilik mata boleh sampai tertidur? Padahal mata itu dapat mendatangkan berbagai kenikmatan
Pemuda mabuk itu mendengar syair Dzunnun dan bangun dengan terperanjat kaget. Segera Dzunnun menceritakan kepadanya segala yang telah terjadi.
Setelah mendengar penjelasan Dzunnun, pemuda itu sadar. Betapa kasih sayang Allah sangat besar kepada hambanya. Bahkan kepada seorang pemabuk seperti dirinya, Allah masih memberikan perlindungan dan penjagaan-Nya
Demikianlah sekelumit kisah perjalanan hidup waliyullah, sufi besar Dzun Nun al-Misri yang wafat pada tahun 245 H. Semoga Allah meridlainya. Amin....
Nama Dzun Nun mempunyai makna tersendiri, yaitu arti dari namanya adalah ”seseorang yang mempunyai huruf Nun dari mesir”. Huruf Nun ini mempunyai makna tersendiri, sebuah simbol spiritual power. Huruf Nun dimaknai sebagai relasi antara Tuhan dan hambanya, dimana huruf Nun ini mempunyai sebuah titik ditengah dan garis yang melingkarinya. Simbol tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik tujuan sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan.
Kaum sufi juga memaknai simbol ini sebagai simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Dzun Nun Al Mishri, dia mengetahui dan sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya apalagi sebagai nama dari dirinya sendiri. Yang kemudian makna dari namanya itu membawayanya serta mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada huruf Nun tersebut, dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah SWT. Yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Huwa al-Awwalu waal-Aakhiru waal-Dhaahiru wal-Baathinu wa-Huwa Bikulli Syay-in ‘Aliimun”
Artinya : Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadiid : 3 ).
Jadi bisa kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya dengan huruf Nun yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari kehidupan, dan titik sentral tersebut adalah sesuatu yang awal dan yang akhir.
Sang Wali yang Haus Hikmah
Nama lengkap Dzun Nun Al Mishri adalah Abu Al-Faid Tsauban bin Ibrahim, Ia dilahirkan di Ikhmin, dataran tinggi Mesir, Pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat pada tahun 246 H/856 M dan makam kan dekat makam Amr bin Ash dan Uqbah bin Al Harun. Ia adalah seorang sufi besar dari Mesir, Seorang ahli kimia dan fisika dan dia juga seorang sufi yang pertama kali menganalisis ma’rifah secara konsepsional. Sufi agung yang memberikan kontribusi besar terhadap dunia pemahaman dan pengamalan hidup dan kehidupan secara mendalam antara makhluk dengan sang pencipta, makhluk dan sesama ini mempunyai nama lengkap al-Imam al-A’rif al-Sufy al-Wasil Abu al-Faidl Tsauban bin Ibrahim, dan terkenal dengan Dzunnun al-Misry. Kendati demikian besar nama yang disandangnya namun tidak ada catatan sejarah tentang kapan kelahirannya.
Perjalanan Menuju Mesir
Waliyullah yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan ma’rifatulah yang hakiki.
Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak diiringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya: “ada apa ini?”. Orang tersebut menjawab : Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik “. Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang dirundung duka. “Fenomena apa lagi ini ?” begitu pikir sang wali. Iapun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab : “Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meningal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga “. Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu : “Ya Allah aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar “. Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).
Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya. Kadang berliku penuh ombak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri. Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.
Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya “Wahai Abu al-Faidl !” begitu ia memanggil demi menghormatinya “Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT ? “. “Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu”. Begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran “Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku” lalu Dzunnun berkata : “Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad : “Cukup… aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku”.
Dzun Nun adalah seorang Mesir yang menjelajah luas untuk belajar sufisme dan dihukum karena ajarannya tentang sufisme. Dia dianggap sebagai salah satu “Wali yang Tersembunyi” dan Wali Qutb oleh para sufi sezamannya. Dia memiliki wawasan yang luas tentang misteri-misteri Ilahi dan doktrin Kesatuan. Beliau adalah guru sufi besar di zamannya. Berikut pembicaraan beliau tentang hakikat :
Pada perjalanan pertamaku, aku temukan sejenis ilmu yang dapat diterima baik oleh kaum pilihan maupun kaum awam. Saat perjalanan kedua, kuperoleh ilmu yang dapat diterima oleh kaum pilihan dan bukan untuk kaum awam. Pada perjalanan ketiga, ilmu yang tidak dapat diterima, baik oleh kaum pilihan maupun kaum awam, dan aku masih saja terdampar dan sendirian.
Ilmu pertama adalah pertobatan, yang baik kaum pilihan maupun kaum awam menerimanya. Kedua adalah kepercayaan kepada Allah dan keintiman dengan-Nya, yang hanya diterima oleh kaum pilihan. Dan ketiga adalah hakikat, yang berada di atas jangkauan manusia cerdas dan berakal, sehingga mereka menolaknya.
Ada tiga jenis ilmu, pertama, ilmu tentang Keesaan Tuhan dan ilmu ini dipahami oleh semua kaum beriman. Kedua, ilmu yang didapat dengan pembuktian dan penunjukan, dan ilmu ini milik orang-orang bijak dan mulia serta orang-orang pintar. Dan ketiga, ilmu Sifat-sifat Kesatuan, dan ini milik para wali, mereka yang merenungkan Wajah Tuhan dalam kalbu mereka, sehingga Tuhan menampakkan Diri di hadapan mereka dengan cara di mana Dia tidak terlihat oleh orang-orang lain di dunia ini.
Ciri kearifan falsafah Dzun Nun tercermin dalam ungkapannya: “Aku mengenal Allah dari Allah, dan aku mengetahui apa yang di samping Allah dari Rasulullah.” Dalam sebuah paparannya tentang kaum arif atau sufi sejati, Dzun Nun mengatakan:
Sang arif semakin rendah hati (tawadhu) setiap saat, dan setiap saat dia semakin dekat kepada Tuhannya. Kaum Arifin melihat tanpa pengetahuan, tanpa penglihatan, tanpa penggambaran, tanpa halangan dan tanpa tirai. Mereka bukan diri mereka sendiri, tetapi sepanjang keberadaannya mereka itu berada di dalam Tuhan. Gerak-gerik mereka disebabkan oleh Allah dan kata-kata mereka adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah-lidah mereka, dan penglihatan mereka adalah penglihatan Tuhan, yang telah memasuki mata mereka. Demikianlah, Allah Yang Maha Tinggi berfirman: “Jika Aku mencintai hamba-Ku, maka Akulah telinganya yang dengannya dia mendengar, Akulah mata-Nya yang dengannya dia melihat dan Akulah lidahnya yang dengannya dia berbicara, dan Akulah tangannya yang dengannya dia memegang.”
Ajaran Dzun Nun telah mengilhami banyak Sufi. Bahkan makna nama Dzun Nun sendiri sering menjadi perhatian para sufi generasi kemudian. Nun (huruf yang menjadi pembuka surat al-Qalam: Nun wa al-qalam) juga berarti “ikan.” Dzun Nun adalah orang yang, seperti Nabi Yunus as, “ditelan ikan,” atau masuk ke dalam kefanaan, dan setelah melewati pengalaman di dalam ikan itu dia merasakan bagai huruf nun: “Kemudian aku menjadi lengkung laksana huruf nun, hingga aku menjelma Dzun Nun sejati” demikian kata sufi-penyair Maulana Rumi dalah salah satu Diwannya. Dzun Nun wafat pada 245 H. dalam salah satu riwayat sebagaimana dituturkan al-Hujwiri, di malam kematiannya ada 70 orang bermimpi bertemu Rasulullah. Rasul berkata, “Aku datang menemui wali Allah, Dzun Nun.” Dan sesudah kematiannya, di keningnya tertera kata-kata: Ini adalah kekasih Allah, yang mati dalam mencintai Allah, dibunuh oleh Allah. Setiap kali orang menghapus tulisan tersebut, tulisan itu selalu muncul lagi. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa saat jenazahnya diusung, muncul sekawanan burung berwarna hijau memayungi iringan jenazah Dzun Nun. Setelah melihat kejadian-kejadian aneh ini, orang-orang Mesir menyesali sikap mereka yang zalim terhadap Dzun Nun.
Dzun Nun mempunyai banyak pengikut yang kelak terkenal sebagai sufi besar. Ada dua muridnya yang sangat terkenal. Pertama adalah Yusuf ibn al-Husain (w. 304/916) dari Rayy, Persia, seorang sufi yang terkenal dengan keikhlasannya dan sering mengungkapkan pengalaman-pengalaman mistisnya – konon dia berkhotbah selama 50 tahun baik ada pendengarnya maupun tidak. Dan yang kedua adalah Syekh SAHL AL-TUSTARI, salah satu guru Syekh Mansur al-Hallaj.
Perjalanan Ruhaniah
Ketika si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufi pun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama.
Maka demikianlah, Dzunnun al-Misri tidak puas dengan hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa, jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah.
Suatu malam, tatkala Dzunnun bersiap-siap menuju tempat untuk ber-munajat ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang nampaknya baru saja mengarungi samudera kegundahan menuju ke tepi pantai kesesatan. Dalam senyap laki-laki itu berdoa “Ya Allah Engkau mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar dari dosa tapi tetap melakukannya adalah dicerca. Sungguh aku telah meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan rahmatmu. Tuhanku… Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas. Engkaulah Zat yang menjaga dan menyelamatkan hati para auliya’ dari datangnya kebimbangan. Engkaulah yang menentramkan para wali, Engkau berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa”. Dengan khusyu’ Dzunnun menyimak kata demi kata rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya hilang sama sekali di telan gulitanya sang malam namun menyisakan goresan yang mendalam di hati sang wali ini.
Di saat yang lain ia bercerita pernah mendengar seorang ahli hikmah di lereng gunung Muqottom. ” Aku harus menemuinya ” begitu ia bertekad kemudian. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan iapun bisa menemukan kediaman lelaki misterius. Selama 40 hari mereka bersama, merenungi hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan saling tukar pengetahuan. Suatu ketika Dzunnun bertanya : “Apakah keselamatan itu?”. Orang tersebut menjawab “Keselamatan ada dalam ketakwaan dan al-Muroqobah (mengevaluasi diri)”. “Selain itu ?”. pinta Dzunnun seperti kurang puas. “Menyingkirlah dari makhluk dan jangan merasa tentram bersama mereka!”. “Selain itu ?” pinta Dzunnun lagi. “Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus”. Lalu orang tersebut meninggalkan Dzunnun al-Misri dalam kedahagaan yang selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.
Kealiman Dzun Nunal-Misri
Betapa indahnya ketika ilmu berhiaskan tasawuf. Betapa mahalnya ketika tasawuf berlandaskan ilmu. Dan betapa agungnya Dzunnun al-Misri yang dalam dirinya tertata apik kedalaman ilmu dan keindahan tasawuf. Nalar siapa yang mampu membanyah hujjahnya. Hati mana yang mampu berpaling dari untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang Mesir pertama yang berbicara tentang urutan-urutan al-Ahwal dan al-Maqomaat para wali Allah.
Maslamah bin Qasim mengatakan “Dzunnun adalah seorang yang alim, zuhud wara’, mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi Hadits”. Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu’aim dalam Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzunnun telah meriwayatkan hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibn Luha’iah, Fudhail ibn Iyadl, Ibn Uyainah, Muslim al-Khowwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah al-Hasan bin Mus’ab al-Nakha’i, Ahmad bin Sobah al-Fayyumy, al-Tho’i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman al-Sulamy menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzunnun telah meriwayatkan hadis Nabi dari Ibn Umar yang berbunyi ” Dunia adalah penjara orang mu’min dan surga bagi orang kafir”.
Di samping lihai dalam ilmu-ilmu Syara’, sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalah ilmu Ladunni yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja.
Karena demikian tinggi dan luasnya ilmu sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu masalah pada orang di sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang menawan. Seketika itu para ahli ilmu fiqih dan ilmu ‘dhahir’ timbul rasa iri dan dan tidak senang karena Dzunnun telah berani masuk dalam wilayah (ilmu fiqih) mereka. Lebih-lebih ternyata Dzunnun mempunyai kelebihan ilmu Robbany yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya pada Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang Zindiq yang memporak-porandakan syari’at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. “Benarkah engkau ini zahidnya negeri Mesir?”. Tanya khalifah kemudian. “Begitulah mereka mengatakan”. Salah satu pegawai raja menyela : “Amir al-Mu’minin senang mendengarkan perkataan orang yang zuhud, kalau engkau memang zuhud ayo bicaralah”.
Dzunnun menundukkan muka sebentar lalu berkata “Wahai amiirul mukminin…. Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembahnya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula. Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa diisi oleh malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT, Allah akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka. Badan mereka adalah duniawi, tapi hati adalah samawi…….”.
Dzunnun meneruskan mauidzoh-nya sementara air mata Khalifah terus mengalir. Setelah selesai berceramah, hati Khalifah telah terpenuhi oleh rasa hormat yang mendalam terhadap Dzunnun. Dengan wibawa khalifah berkata pada orang-orang datang menghadiri mahkamah ini : “Kalau mereka ini orang-orang Zindiq maka tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini”. Sejak saat itu Khalifah al-Mutawaakil ketika disebutkan padanya orang yang Wara’ maka dia akan menangis dan berkata “Ketika disebut orang yang Wara’ maka marilah kita menyebut Dzunnun”.
Kesabaran Dzun Nun al-Misri
Dzun Nun al-Misri mempunyai seorang anak perempuan yang sangat saleh. Ketika putrinya masih sangat muda, dia bersama bapaknya ke laut dan menjala ikan. Dzun Nun masuk ke air, dan putrinya menunggu di bibir pantai. Setelah beberapa lama menebar jala, tak satupun ikan yang dapat, namun pada akhirnya, dia mendapatkan ikan besar yang tersangkut di jalanya. Ketika Dzun Nun siap memasukkan ikan hasil tangkapannya itu ke dalam wadah ikan, putrinya segera mengambil ikan itu dan melepaskannya kembali ke dalam air laut. Ikan itu berenang menjauh ke tengah laut.
Dzun Nun kaget dan bertanya pada putrinya, “Mengapa engkau membuang ikan hasil tangkapan kita?” “Aku menyaksikan ikan itu tengah menggerakan mulutnya. Aku lihat dia sedang berzikir dan menyebut nama Allah. Aku tidak mau memakan mahluk yang berzikir kepada Allah.” Jawab anaknya.
Putri Dzun Nun memegang tangan Bapaknya seraya berkata, “Bersabarlah, Bapak. Kita seharusnya berserah diri kepada Allah. Sesungguhnya Dia akan memberi rizki kepada kita”.
Mereka berdua kemudian shalat di tepi pantai dan tawakkal kepada Allah. Hingga sore hari. Akhirnya mereka pulang ke rumah. Setelah sholat isya’, tempat makan mereka penuh dengan makanan. Makanan itu dikirim oleh Allah untuk mereka. Setiap hari, selama lebih dari sebelas tahun. Sampai pada suatu hari ketika anaknya meninggal dunia, mendahului bapaknya, saat itu pula, makanan itu sudah tidak ada lagi di tempat makanan. Dia akhirnya sadar bahwa, kesabaran anaknya itu membuahkan kasih sayang Allah padanya. .
Kunci kesabaran di sini adalah berserah pada kuasa Allah, tak ada yang akan kelaparan dan mati di dunia secara sia-sia. Allah akan memberikan rizki pada semua manusia, bahkan dengan tawakkal, sabar dan berserah diri pada Allah, Dia tidak akan membiarkan Hambanya terlantar dan menderita.
Dalam suasana krisis seperti ini, harapan dan usaha perlu diseimbangkan. Sabar tidak membuat manusia malas-malasan dan hanya berserah diri, namun sabar adalah benteng untuk menahan diri menghabiskan isi bumi dengan serakah. Semua harus berusaha dan berupaya agar dapat melanjutkan hidup dan kuat terhadap apa yang terjadi.
Pujian para ulama’ terhadap Dzun-Nun
Tidak ada maksud paparan berikut ini supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih terpuji. Sebab apa yang dia harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika Yang Maha Sempurna sudah memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta manusia dibanding belaian kasih Yang Maha Penyayang ?. Dan hanya dengan harapan semoga semua menjadi hikmah dan manfaat bagi semua paparan berikut ini hadir.
Imam Qusyairy dalam kitab Risalah-nya mengatakan “Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawwuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara’, Haal, dan adab”. Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan “Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan seperti keempat orang ini : Dzunnun al-Misry, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-Basry”. Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama Syaikh Muhiddin ibn Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan “Dzunnun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita”.
Pujian dan penghormatan pada Dzunnun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita : “Sahl al-Tustari (salah satu Imam tasawwuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab “Dulu waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku tidak berani berbicara tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku padaku : berbicaralah!! Engkau telah diberi izin”.
Cinta dan ma’rifat
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang : “Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?”. “Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku “,jawab Dzunnun. “kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku”. Lebih jauh tentang ma’rifat ia memaparkan : “Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya”. “Ma’rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya”.
Tentang cinta ia berkata : “Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah”. “Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya”. “Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)”.
Karomah Dzun Nunal-Misri
Imam al-Nabhani dalam kitabnya “Jami’ al-karamaat “ mengatakan: “Diceritakan dari Ahmad bin Muhammad al-Sulami: “Suatu ketika aku menghadap pada Dzunnun, lalu aku melihat di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan dan minyak Ambar. Lalu beliau berkata padaku “engkau adalah orang yang biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira”. Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh (kota di Iran).
Suatu hari Abu Ja’far ada di samping Dzunnun. Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah. Dzunnun mengatakan “Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali pada tempat asalnya”. Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan kembali ke tempat asalnya.
Imam Abdul Wahhab al-Sya’roni mengatakan: “Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzunnun lalu berkata “Anakku telah dimangsa buaya”. Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzunnun datang ke sungai Nil sambil berkata “Ya Allah… keluarkan buaya itu”. Lalu keluarlah buaya, Dzunnun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata “Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu selalu aku merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT”.
Pemuda Yang Berjalan Diatas Air
Diantara cerita yang diriwayatkan mengenai para kekasih Allah atau wali Allah adalah cerita yang diberitakan oleh Zin-Nun rahimahullah, katanya :
Sekali peristiwa, saya bercadang untuk pergi keseberang laut untuk mencari sustu barang yang saya perlukannya dari sana. Saya pun menempah suatu tempat disebuah kapal. Bila tiba waktu itu aka berangkat , saya lihat penumpang penumpangnya yang menaikki terlalu banyak sekali bilanggannya, yang kebanyakannya dating dari tempat yang jauh , sehingga kapal itu penuh sesak dengan penumpang.
Saya terus mengamati amati wajah wajah penumpang itu, dan saya lihat diantaranya ada seorang pemuda yang sangat kacak rupanya , wajahnya bersinar cahaya, dan dia duduk ditempatnya dalam keadaan tenang sekali,tidk seperti penumpang penumpang lain, terus mundar mandir diatas kapal itu. Udara atas kapal itu agak panas, meski pun angina laut bertiupan, sekali panasnya dating dari sebab terlalu banyak penumpang yang berhimpit hempit diantara satu dengan yang lain.
Pada mulanya kapal itu belayar dengan lancer sekali, kerana baarang kali lautnya tenang tidak bergelombang, dan angit pun tidak bertiup kencang, kecuali sekali sekala saja, dan kalau ada pun hanya ombak ombak kecil biasa dihadapinya.
Dalam keadaan yang begitu tenang diatas kapal itu, tiba tiba kami dikejutkan oleh suatu pemberitahuan umum yang mengatakan bahawa nakhoda kapal itu telah kehilanggan suatu barang sangat berharga, dan hendaklah semua penumpamn penumpang kapal duduk ditempat masing masing, erana sustu pengeledahan akan di jalankan tidak lama lagi untuk mencari barang yang hilang itu.
Kinipenumpang penumpang kapal kecoh berbicara antara satu dengan yang lain mengenai barang yang hilang itu. Masing masing cuba mengeluarkan pendapat bagaimana barang itu boleh hilang. Saya sendiri merasa hairan bagaimana barang nakhada itu boleh hilang ? Apa kah dicuri orang ? atau pun barangkali keciciran kerana manusia diatas kapal itu terlalu banyak .
Sebentar lagi nakhoda kapal mengumumkan:
‘semua penumpang hendaklah berada ditempatnya. Sekarang kami akan memulakan penggeledahan !’
Pengeledahan pun dimulakan oleh beberapa org pegawai kapal itu. Penumpang penumpang itu semuanya ribut , baik lelaki mau pun wanitnya. Mereka digeledah satu satu cukup parinya. Begitu pula tempat tidur mereka dibentangkan dan diraba, kalau kalau barang itu disembunyikan dicelah celahnya. Na,un barang itu masih belum diketemui lagi. Akhirnya sampailah giliran tempat si pemuda tampan untuk digeledah. Pada mulanya pemuda itu duduk ditempatnya dengan tenang sekali . tetapi oleh kerana dia orang yang terakhir yang diperiksa , maka muka muka orang ramai seolah olah mengancam memerhatikannya. Mungkin ada orang yang mengatakan didalam hatinya, barangkali pemuda inilah yang mencuri barang itu. Apabila pemuda itu dikasari oleh pegawai pegawai kapal itu dalam pemeriksaanya lalu dia melompat ketepiseraya memprotes: ‘ saya bukan pencuri, kenapa saya dilakukan begitu kasar?’ Lantaran pemuda itulah satu satunya orang yang membantah, maka disangka pegawai pegawai kapal itu dial ah pencuri barang itu. Mereka mahu menangkapnya, maka pemuda itu pun meronta lalu menerjunkan diri kemuka laut.orang ramai menyerbu kepinggir kapal hendak melihat pemuda yang terjun kedalam laut itu. Yang menghairankan bahawa pemuda itu tidak tengelam, malah dia duduk dimuka laut itu, sebagaimana dia duduk diatas kerusa dan tidak tengelam. Pemuda itu lalu berkata dengan suara yang keras:
‘Ya Tuhanku ! Mereka sekaian menuduh ku sebagai pencuri ! Demi Zat Mu , wahai Tuan Pembela orang yang terinaya ! Perintahkan lah kiranya semua ikan ikan dilaut ini supaya timbul dan membawa dimulutnya permata permata yang berharga !’
Penumpang penumpang terus merenungkan pandangannya kelaut sekitar kapal itu ingin melihat jika benar ikan ikan itu akan timbul membaw dimulut nya permata permata yang berharga ? saya juga ikut sama memerhatikan permukaan air itu.
Memang benar , dengan kuasa Allah , permintaan pemuda itu dikabulkan Tuhan, timbul disekitar kapal itu beribu ribu ikan dan kelihatan dimulut mulutnya batu batu putih dan merah berkilauan cahayanya , hingga membuat mata mata yang memandangnya silau kerananya. Semua orang disitu bersorak menepuk tangan kepada pemuda itu.
Saya terus tercengang, tidak dapat berkata apa apa pun. Nakhoda kapal dan peawai pegawai kapal itu bingung, seolah olah dia tidak percaya apa yang dilihatnya.
‘Apakah kamu masih menuduh ku mencuri, padahal perbendaharaan Allah ada ditangan ku, jika aku mahu boleh aku ambil ?’ Pemuda itu kemudiannya memerintahkan ikan ikan itu supaya kembali ketempatnya, maka tengelamlah semuanyasemula ikan ikan tadi, dan orang orang diatas kapal it uterus besorak lagi.
Pemuda itu lalu berdiri diatas air itu, kemudian berjalan diatasnya secepat kilat sementara lisannya terus mengucapkan : surah Al-fatihah: 4
‘Hanya kepada Mu lah aku menyembah , dan hanya kepada Mu pula aku meminta bantuan.’’
Dia terus menjauhi kami, sehingga hilang dari pandangan kami. Saya sama sekali tidak menduga , bahawa pemuda ini kemungkinan sekali termasuk kedalam golongan ahli Allah, yang pernah diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya yang berbunyi :
“akan tetap ada dalam umat ku sebanyak tiga puluh orang lelaki, hati hati mereka sepadan dengan hati Nabi Allah Ibrahim a.s. setiap mati seorang di antara mereka, diganti Allah seorang lain ditempatnya.”
Tukang emas lah yang tau harga emas
Seorang pemuda mendatangi Zun-Nun dan bertanya, “Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain.”
Sang sufi hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?”
Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.”
“Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”
Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.”
Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”
Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, “Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas.
Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”
Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar” yang menilai demikian. Namun tidak bagi “pedagang emas”.
“Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses, wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas.”
‘Ingin’
Seorang yang berharap diterima sebagai murid berkata kepada pada Dhu al-Nun, “Saya ingin bergabung dalam Jalan Kebenaran melebihi apapun di dunia ini.”
Dan inilah yang dikatakan Dhu al-Nun kepadanya: “Kau boleh ikut serta dalam kafilah kami jika kau terima dua hal lebih dulu. Yang pertama, kau harus melakukan hal-hal yang tak ingin kau lakukan. Kedua, kau tidak akan diizinkan melakukan hal-hal yang ingin kau lakukan.
Ingin adalah apa yang berdiri di antara manusia dan Jalan Kebenaran.”
Kasih Tuhan Tak Berbatas
Suatu hari, Dzun nun hendak mencuci pakaian di tepi sungai Nil. Tiba-tiba ia melihat seekor kalajengking yang sangat besar. Binatang itu mendekati dirinya dan segera akan menyengatnya.
Dihinggapi rasa cemas, Dzunnun memohon perlindungan kepada Allah swt agar terhindar dari cengkeraman hewan itu. Ketika itu pula, kalajengking itu membelok dan berjalan cepat menyusuri tepian sungai.
Dzunnun pun mengikuti di belakangnya. Tidak lama setelah itu, si kalajengking terus berjalan mendatangi pohon yang rindang dan berdaun banyak. Di bawahnya, berbaring seorang pemuda yang sedang dalam keadaan mabuk. Si kalajengking datang mendekati pemuda itu. Dzunnun merasa khawatir kalau-kalau kalajengking itu akan membunuh pemuda mabuk itu.
Dzunnun semakin terkejut ketika melihat di dekat pemuda itu terdapat seekor ular besar yang hendak menyerang pemuda itu pula. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan Dzunnun. Tiba-tiba kalajengking itu berkelahi melawan ular dan menyengat kepalanya. Ular itu pun tergeletak tak berkutik.
Sesudah itu, kalajengking kembali ke sungai meninggalkan pemuda mabuk di bawah pohon. Dzunnun duduk di sisi pemuda itu dan melantunkan syair, Wahai orang yang sedang terlelap, ketahuilah, Yang Maha Agung selalu menjaga dari setiap kekejian yang menimbulkan kesesatan. Mengapa si pemilik mata boleh sampai tertidur? Padahal mata itu dapat mendatangkan berbagai kenikmatan
Pemuda mabuk itu mendengar syair Dzunnun dan bangun dengan terperanjat kaget. Segera Dzunnun menceritakan kepadanya segala yang telah terjadi.
Setelah mendengar penjelasan Dzunnun, pemuda itu sadar. Betapa kasih sayang Allah sangat besar kepada hambanya. Bahkan kepada seorang pemabuk seperti dirinya, Allah masih memberikan perlindungan dan penjagaan-Nya
Demikianlah sekelumit kisah perjalanan hidup waliyullah, sufi besar Dzun Nun al-Misri yang wafat pada tahun 245 H. Semoga Allah meridlainya. Amin....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar